1. Apa definisi bid’ah secara bahasa dan istilah?
2. Apa difinisi maslahah mursalah secara bahasa dan istilah?
Definisi
bid’ah yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Sementara definisi maslahah mursalah
menurut wahabi adalah sebagai berikut:
Menurut
bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah
menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya,
dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan
dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada
suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara
kemaslahatan.
Perhatikan
kalimat “menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada
ijma’nya.” Kalimat ini menunjukan bahwa wahabi mengakui diperbolehkannya
menetapkan suatu hukum tanpa nash dan ijma’.
Selanjutnya
perhatikan kalimat: “dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh
syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang).” Kalimat ini menunjukan bahwa
wahabi mengakui ada masalah yang tidak dijelaskan oleh syara’ tentang
dibolehkan atau dilarang.
Mari
kita gabungkan kesimpulan tersebut dengan pengertian bid’ah fersi Ibn Taimiyah
yang dinukil oleh wahabi di atas. “Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah
yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.
Kesimpulannya:
Wahabi
mengakui bahwa ada masalah yang tidak dijelaskan oleh syara’. Untuk masalah
seperti ini, maka bagi wahabi boleh mengambil hukum dengan tanpa nash dan ijma’.
Jika kesimpulan ini kita gabungkan dengan pengertian bid’ah fersi Ibn Taimiyah
yang dinukil oleh wahabi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Sesuatu
yang tidak dijelaskan oleh syara’ mengenai dibolehkan atau diharamkannya maka
kita boleh mengambil hukum tanpa nas dan ijma’ dengan syarat hukm yang kita
cetuskan tidak bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’.
Itu
kesimpulan dari saya atas pendapat wahabi. Jika kesimpulan saya salah, silahkan
tunjukan letak kesalahannya kemudian silahkan tunjukan kesimpulan yang benar. Jika
anda menyalahkan kesimpulan saya tanpa mampu menunjukan letak kesalahannya dan
tanpa menunjukan kesimpulan yang benar, maka cukup bagi anda bahwa anda sedang
belajar menjadi orang TOLOL.
Tanggapan
Saya:
Sebenarnya
saya sedang menulis buku yang membahas masalah ini. Buku tersebut sengaja saya
tulis sebagai hadiah untuk guru saya, KH. Thoifur Mawardi yang selama 12 tahun
ini mendidik saya. Metode
yang saya gunakan dalam penulisan buku itu adalah dengan melakukan analisa
terhadap kitab-kitab 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
Dari analisa
saya ambil kesimpulan bahwa masalahah mursalah merupakan metode yang dicetuskan
oleh Imam Malik sebagaimana Qias adalah metode yang dicetuskan oleh Imam Syafi’I
atau ihtisan yang dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah. (Lihat, Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam, 245, Oleh Purna Siswa Aliyah 2004, PP. Lirboyo, Kediri).
Jadi,
maslahah mursalah hanya merupakan metode pengambilan hukum syara’ kepada suatu
kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar kemaslahatan. Dengan kata
lain, ada masalah yang tidak dibahas oleh syara’ mengenai diperbolehkan atau
dilarangnya.
Selanjutnya,
saya mencoba memahami masalah bid’ah dengan melakukan analisa terhadap
kitab-kitab kontemporer yang ditulis oleh ulama Aswaja dan wahabi. Setelah
memelajari masalah ini dengan membaca keterangan dari kedua pihak, saya
memiliki tesis sebagai berikut:
Pada
dasarnya kedua pihak sama-sama menerima amalan yang tidak ada contohnya jika
amalan tersebut berada dibawah naungan syariat. Artinya amalan tersebut tidak
memiliki dalil perintah secara shorih namun amalan tersebut masuk dalam keumuman
suatu dalil.
Perbedaannya
terletak pada penamaanya. Menurut salafi wahabi, amalan yang tidak ada
contohnya yang berada dibawah naungan syari’at disebut maslahah mursalah
sedangkan aswaja menyebutnya sebagai bid’ah hasanah.
Sebagai
contoh adalah masalah pembukuan Qur’an. Wahabi dan aswaja sepakat bahwa
pembukuan Al-Quran tidaklah sesat. Wahabi/salafi menyebutnya sebagai maslahah
mursalah sedangkan aswaja menyebutnya sebagai bid’ah hasanah.
Contoh
lainnya adalah masalah pemberian harakat pada Al-Quran. Wahabi/Salafi dan
aswaja sepakat bahwa hal itu tidak sesat. Wahabi/salafi menyebutnya sebagai
maslahah mursalah sedangkan aswaja menyebutnya sebagai bid’ah hasanah.
Contoh
lainnya adalah pembangunan madrasah. Salafi/Wahabi dan aswaja sepakat bahwa
pembangunan madrasah boleh. Salafi/Wahabi menyebutnya sebagai maslahah mursalah
sedangkan aswaja menyebutnya sebagai bid’ah hasanah.
Contoh
lainnya adalah imam sholat yang memakai mik. Salafi/Wahabi dan aswaja sepakat
bahwa hal itu boleh. Salafi/Wahabi menyebutnya sebagai maslahah mursalah
sedangkan aswaja menyebutnya sebagai bid’ah hasanah.
Mungkin
Salafi/Wahabi akan berkata seperti yang biasa mereka katakan kepada saya: “Anda
tidak paham pengertian bid’ah. Bid’ah itu hanya dalam masalah ibadah. Apa yang
anda contohkan itu bukan masalah ibadah. Jadi, semua itu tidak bisa disebut
bid’ah.”
Kepada
mereka saya katakan: “Anda mengatakan bahwa semua bid’ah sesat. Jika bid’ah
hanya pada masalah ibadah, maka bid’ah yang bukan masalah ibadah tidak sesat. Jadi
mana yang benar, semua bid’ah sesat ataukah tidak semua bid’ah sesat?”
Mari
kita perhatikan hadits yang selalu digunakan oleh salafi/wahabi untuk
menyesatkan amalan-amalan aswaja.
وإياكم ومحدثات الأمور
فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Takutlah
terhadap hal-hal baru, sebab semua hal baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah sesat.”
Nabi
jelas-jelas mengatakan bahwa semua hal yang baru adalah bid’ah. Beliau sama
sekali tidak membatasinya hanya dalam masalah ibadah. Kalimat mana yang
menunjukan bahwa “kullu” tersebut husus hanya pada masalah ibadah? Siapa yang
membatasinya hanya dalam masalah ibadah?
Jawabannya
adalah ulama salafi/wahabi seperti Sholih Bin Abdul Aziz dalam kitab Assunah
Walbid’ah Juz 1 hlm 3, Abdur Rohman Bin
Sa’d dalam kitab Assunan Walmubtadi’at Fil A’yad, juz 1 hlm 2, Walid Bin Rosyid
dalam kitab Nashru Syari’ah Biqom’il Bid’ah, juz 1 hlm 8. Muhammad Bin Husain
dalam kitab Qowa’idu Ma’rifatil Bida’ Juz 1 hlm 6, dan lain-lain.
Mungkin
anda akan mengatakan bahwa yang menghususkan adalah kalimat “Fi Amrina
hadza” dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai
berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
فِيهِ فَهُوَ رَد
“Barang siapa membuat amalan baru dalam urusan kita ini yang tidak
termasuk didalamnya maka ia tertolak.”
Tanggapan saya:
Kalimat “dalam urusan kita, ini” menunjukan bahwa yang dimaksud adalah urusan
yang diajarkan oleh Rosulluh SAW. Apakah Rosululloh hanya mengajarkan masalah
ibadah saja? Bagaimana menurut anda mengenai cebok, jual beli, pernikahan, tolaq,
hukum kriminal, tatanegara, perbudakan, menyingkirkan duri dijalan, makan,
tidur, adab dengan manusia, Apakah Rosululloh SAW tidak mengajarkan bagaimana
tatacara melakukan semua itu?
Saya harap anda tidak belajar menjadi orang bodoh dengan menjawab
bahwa Rosululloh tidak mengajarkannya. Tetapi saya tahu anda orang yang berilmu
sehingga anda tahu bahwa Rosululloh SAW mengajarkan tatacaranya. Jadi, semua
itu termasuk dalam kalimat “Fi Amrina Hadza” urusan kita ini.
Dengan demikian kalimat kullu bid’ah dholalah tidak terbatas dalam
masalah ibadah saja melainkan semua hal baru, baik itu ibadah ataupun bukan. Maka
pembukuan al-quran, pemberian harokat, pembangunan madrasah, pemakaian mik saat
mengimami sholat, semua itu adalah bid’ah.
Sekalipun semua itu bid’ah namun salafi/wahabi dan aswaja sepakat
bahwa bid’ah ini tidak apa-apa. Perbedaannya hanya dalam penamaannya saja.
Salafi/wahabi menyebutnya maslahah mursalah sedangkan aswaja menyebutnya bid’ah
hasanah.
Perbedaan dalam penamaan tidak hanya terjadi dalam masalah itu
saja, melainkan juga dalam masalah ibadah. Salafi/wahabi dan aswaja sepakat
bahwa suatu ibadah yang tidak memiliki dalil secara shorih namun berada didalam
naungan syariat, atau dengan kata lain memiliki asal dari syari’at maka ibadah
tersebut boleh dilakukan.
Perbedaannya hanya pada label yang diberikan untuk amalan
tersebut. Wahabi tidak menamainya sebagai bid’ah. Sedangkan aswaja menyebutnya
sebagai amalan bid’ah. Namun karena amalan tersebut berada dalam naungan
syariat atau memiliki asal dari syari’at maka disebut bid’ah hasanah.
Mari kita lihat pengertian bid’ah hasanah menurut aswaja
sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Abu
Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i berkata:
الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا
أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلَالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍ.(الحافظ البيهقي, مناقب الإمام الشافعي, 1/469)
“Bid’ah
(muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an
atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlalalah (tersesat).
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (al-Baihaqi,
Manaqib al-syafi’i, 1/469).
Jadi
bid’ah hasanah adalah amalan baik yang tidak bertentangan dengan kitab, sunah
dan ijma’. Jika amalan tersebut bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’ maka
ia disebut bid’ah madzmumah atau bid’ah sayyi’ah atau bid’ah dholalah.
Selanjutnya mari kita perhatikan pengertian bid’ah menurut Ibn
Taimiyah yang dinukil oleh wahabi, sebagai berikut:
وَالْبِدْعَةُ
: مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ
الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah).
Mafhumnya,
jika sesuatu tersebut tidak bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’, maka ia
tidak disebut bid’ah. Maka amalan yang seperti boleh dilakukan sekalipun tidak
ada contoh sebelumnya. Amalan seperti ini disebut bid’ah hasanah oleh aswaja. Disebut
bid’ah karena tidak ada contoh sebelumnya. Disebut hasanah karena tidak
bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’.
Dalam
majmu’ Fatawi Ibn Taimiyah menukil kalam Imam Syafi’I tersebut kemudian
menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah. Kata Ibn Taimiyah:
ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن
الإيمان لا يتم إلا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة
باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة
بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة
ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة
Perhatikan
kalimat: “وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك
وهذه قد تكون حسنة” (bid’ah yang tidak bertentangan dengan kitab, (Al-Qur’an), sunah,
ijma’ dan atsar, bid’ah tersebut adalah bid’ah حسنة
(hasanah). Jadi Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.
Ketahuilah
bahwa bid’ah hasanah dalam pandangan aswaja adalah setiap amalan yang tidak pernah
dilakukan pada zaman Nabi, sahabat dan tabi’in namun memiliki asal dari
syari’at atau dengan kata lain berada dalam naungan syari’at dan tidak
bertentangan dengan kitab, sunah, dan ijma’.
Untuk
lebih jelasnya, silahkan baca artikel saya berjudul Mafahim
Konsep Bid'ah Hasanah di web saya http://goleksuwargo.blogspot.com/2013/07/mafahim-konsep-bidah-hasanah_9643.html
Dalam
wahabi amalan seperti itu dinamakan bid’ah secara bahasa. Namun secara syara’
amalan itu bukan bid’ah. Jadi pada dasarnya wahabi menerima adanya bid’ah
hasanah, hanya saja mereka tidak mau menyebutnya sebagai bid’ah hasanah. Sebagai
contoh adalah amalan Ibn Taimiyah sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu
muridnya, Umar Bin Ali Albazzar dalam kitab Manaqib ibn Taimiyah, sebagaiberikut:
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ
السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ
الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ
ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا
الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ.
وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ
بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ
وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ
ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ
حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ
أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ
الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ
الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. اهـ (عمر
بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
Inti dari kisah tersebut adalah setiap selesai sholat shubuh, Ibn Taimiyah berdzikir secara jama’ah. Kebiasaan Ibn Taimiyyah telah maklum. Ia sulit diajak bicara setelah sholat subuh kecuali terpaksa.
Perhatikan kalimat:
مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ
بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ
“Di
tengah-tengah dzikir itu, Ibn Taimiyyah seringkali menatapkan pandangannya ke
langit.”
Apakah saat berdzikir Rosululloh SAW menatapkan pandangan beliau ke langit? Jika iya, silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak berarti apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah adalah murni bid’ah yang dia ciptakan?
Perhatikan kalimat:
هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ
وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ
حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ
الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ
تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا
Kebiasaan Ibn Taimiyah adalah membaca Fatihah dan mengulang-ulangnya dari fajar hingga matahari naik. Apakah Rosululloh SAW pernah melakukan hal itu? membaca fatihah secara berulang-ulang dari setelah sholat shubuh hingga matahari naik? Jika iya, silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak, berarti itu merupakan bid’ah yang diciptakan oleh Ibn Taimiyyah.
Wahabi
tidak menyebutnya sebagai amalan bid’ah sekalipun tidak pernah dilakukan oleh
Nabi sahabat dan ulama salaf. Atau menyebutnya bid’ah namun bid’ah lughowi
bukan bid’ah syar’i. Sementara
ahlu sunah menyebutnya sebagai bid’ah. Namun karena berada dalam naungan syari’at
dan tidak bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’, maka bid’ah Ibn Taimiyah
disebut bid’ah hasanah.
Saya
telah mengadakan penelitian dengan melihat kitab-kitab fiqih dari 4 madzhab.
Dari penelitian saya menghasilkan bahwa seluruh madzhab mengakui adanya bid’ah
hasanah kecuali madzhab Hanbali. Sebagai
bukti silahakan baca artikel saya berjudul Inilah
Ahlu Bid'ah Versi Wahabi di web saya http://goleksuwargo.blogspot.com/2013/07/inilah-ahlu-bidah-versi-wahabi.html
Jika
anda membaca artikel tersebut, maka anda akan tahu bahwa madzhab Hanafi, Maliki
dan Syafi’I menerima adanya bid’ah hasanah.
Dalam
kitab-kitab fiqih madzhab hanbali, saya tidak menemukan istilah bid’ah hasanah.
Hanya saja mereka mengakui bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Menurut Imam
Abdulloh Syamsudin Muhammad bin Abil Fath Al-Hanbali, bid’ah terbagi menjadi
dua, bid’ah huda dan bid’ah dholalah. Ketika
menerangkan sunah tholaq dan kebid’ahannya ia mengatakan:
والبدعة مما عمل على غير
مثال سابق والبدعة بدعتان بدعة هدى وبدعة ضلالة والبدعة منقسمة بإنقسام أحكام
التكليف الخمسة (المطلع على أبوات المقنع ج 1
ص 334 )
Artinya: bid’ah adalah perbuatan yang tidak memiliki contoh
terdahulu. Bid’ah dibagi menjadi dua, bid’ah huda dan bid’ah dholalah. Bid’ah
juga terbagi sesuai dengan pembagian hukum taklifi yang lima. (Al-Mutholi’ ‘Ala
Abwatil Muqni’ juz 1 hlm 334)
khoir
ReplyDeleteBagus Sekali, sekarang banyak yg membidah dan mesesatsesatkan jadi resah perlu pencerahan
ReplyDelete