Dalam
pandangan wahabi, melakukan acara selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan
1000 setelah kematian termasuk tasyabuh bilkufar (menyerupai orang kafir).
Sedangkan tasyabuh bilkufar merupakan hal yang dilarang oleh Nabi SAW. Oleh
karena itu wahabi melarang tahlilan.
Pernyataan
tersebut mereka dapatkan dari salah satu ustad wahabi bernama Abdul Aziz yang
mengaku sebagai mantan hindu. Dalam video berdurasi satu setengah jam, ia
memaparkan bahwa selametan pada hari-hari tersebut merupakan ajaran dan
kewajiban dalam hindu.
Dari
keterangan ustad itulah, wahabi menyematkan berbagai kegiatan hindu kepada
tahlilan. Apa saja yang dilakukan oleh orang hindu pada acara tersebut, mereka
anggap sebagai kegiatan tahlilan. Padahal kegiatan dalam selametan orang hindu
sama sekali tidak sama dengan selamatan orang islam saat tahlilan.
Pertama, tahlilan tidak hanya dilaksanakan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan
1000 setelah kematian. Tahlilan boleh dilaksanakan kapan saja sesuai dengan
waktu luang masing-masing individu.
Sedangkan selamatan orang hindu, tertentu pada hari-hari tersebut.
Kedua, saat tahlilan,
orang islam membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat
al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa
Ilaha Illalloh). Apakah saat selametan orang hindu membaca bacaan-bacaan
tersebut? Jawabannya adalah tidak. Mereka tidak membaca bacaan-bacaan tersebut.
Dengan
demikian, selametan dalam hindu dan selametan dalam islam berbeda. Perbedaan
ini merupakan bukti bahwa selametan dengan melakukan kegiatan tahlilan, bukan
tasyabuh bilkufar. Meskipun orang hindu melakukan selametan pada hari-hari
tersebut, namun bukan berarti jika kita melakukannya, ini termasuk tasyabuh
bilkufar yang dilarang oleh Nabi SAW. Sebab, masih ada hal yang membedakannya
yakni bacaan yang dibaca saat selametan.
Analognya
begini: Manusia memiliki mata, telinga, hidung dan mulut. Monyet juga
memilikinya. Apakah karena kesamaan ini kemudian anda mengatakan bahwa manusia
sama dengan monyet? Tentu
saja tidak. Sebab meskipun dalam hal-hal itu terdapat kesamaan., namun keduanya
memiliki perbedaan yakni akal. Manusia memiliki akal sedangkan monyet tidak.
Perbedaan ini adalah bukti bahwa manusia dan monyet tidak sama.
Orang
islam melakukan selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian
untuk mendo’akan keluarga mereka yang telah meninggal dengan membaca berbagai
surat dari al-quran dan dzikir yang disyari’atkan.
Orang
hindu melakukan selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian
untuk mendo’akan keluarga mereka yang telah meninggal. Hanya saja mereka tidak
membaca apa yang dibaca oleh orang islam. Bacaan inilah yang membedakan antara
selametan dalam islam dan selametan dalam hindu.
Jika
wahabi masih mengatakan keduanya sama -sekalipun ada perbedaannya- maka
penyamaan ini merupakan sebentuk pengakuan wahabi bahwa mereka sama dengan
monyet. Sebab, Wahabi dan monyet sama-sama memiliki mata, telinga, hidung dan
mulut. (hehehe….)
Saya
tahu orang wahabi tidak mau menggunakan akal mereka. Dalam wahabi, hukum
menggunakan akal untuk masalah agama dalah haram. Jadi penalaran yang saya
berikan, tidak mungkin dapat dipahami oleh wahabi. Sebab, penalaran itu, hanya
bisa dipahami oleh manusia yang mau menggunakan akalnya. Sedangkan wahabi tidak
mau menggunakan akalnya.
Sebenarnya
saya ragu atas pengakuan ustad wahabi, Abdul Aziz sebagai mantan pendeta hindu.
Alasan keraguan saya adalah isi ceramahnya sama sekali tidak membahas ajaran
terpenting dalam hindu. Ajaran terpenting dalam hindu adalah filsafat. Namun,
ia sama sekali tidak membahas masalah filsafat dalam hindu.
Mari
kita bandingkan dengan para mualaf lain seperti Irene Handono dan DR. Yahya. Keduanya
adalah mantan Kristen. Saat membahas masalah kristolog, keduanya membahas
ajaran terpenting kriten kemudian membantahnya. Jika Irene Handono membahas
masalah trinitas, maka DR. Yahya membahas masalah bible. Dua hal ini merupakan
ajaran terpenting dalam Kristen.
Tapi
baiklah, mari kita lihat bagaimana orang pendeta hindu membantah ustad wahabi
yang ngaku-ngaku mantan pendeta hindu itu. mereka tidak terima jika acara
selametan disebut sebagai ajaran hindu, lebih-lebih desebut sebagai kewajiban
dalam hindu.
Dalam
web resmi milik hindu www.portalhindu.com
seorang penulis hindu dari Lombok bernama Sisya Grya Taman Narmada, membantah pernyataan ustad wahabi yang mengaku sebagai mantan
hindu itu. Ia menolak jika acara selametan setelah kematian disebut sebagai
ajaran hindu. Dia menegaskan bahwa acara tersebut bukan kewajiban dalam hindu
melainkan hanya adat.
Dalam
artikel berjudul “Menggugat Kesaksian Ustadz
Ida Bagus Abdul Aziz”, Sisya Grya Taman Narmada menulis sebagai berikut:
“Sejak SD saya belajar agama hindu, sampai sekarang Panca Yajna itu
artinya lima korban suci. Bahkan di dalam Kitab Bhagawad Gita, yajna berarti
bakti, pengabdian, persembahan dan kurban (sedekah) yang dilakukan dengan tulus
iklas (hati suci). Bukan berharap untung yang lebih besar
kepada Tuhan dari sedekoh yang kecil kepada manusia. Jadi Panca Yajnya itu
adalah berbakti (sujud) kepada Tuhan (Dewa Yajna), bakti kepada
orang suci (Rsi Yajna), berbakti kepada leluhur (pitra yajna),
melayani (berderma) kepada sesama (manusa yajna) dan bersedekah kepada bahluk
bawahan (butha yajna).
Tidak ada saya jumpai arti Panca
Yajna adalah lima upacara selamatan dan wajib ngutang,
seperti kitab yang dibaca Ustadz Abdul Aziz. Istilah selamatan
tidak ada di dalam hindu, apalagi selamatan atas kematian.
Adapun rangkaian upacara kematian di dalam hindu seperti nelun, ngaben,
ngeroras (memukur) dll. Pada intinya merupakan penyucian sang jiwa dari
unsur badan fisik, mendoakan agar perjalanan sang jiwa tidak mendapatkan
halangan, memperoleh ketenangan dan kedamaian di alam pitra. (Kitab
Asvalayana Griha Sutra).
Setelah
membantah selametan disebut sebagai ajaran hindu, selanjutanya ia menegaskan
bahwa selametan merupakan tradisi. Ia meminta agar ustad Abdul Aziz membedakan
antara ajaran agama dan tradisi. Katanya:
Dengan tanpa bermaksud merendahkan
kemampuan sosok Ustadz Abdul Aziz di bidang agama, namun perlu saya sampaikan
bahwa rangkaian acara satu hari, 3, 7, 40, 100 dan nyewu, menurut
hemat saya adalah tradisi di dalam kehidupan beragama dengan berbagai tujuan
dan motivasinya. Misalnya “Tradisi Nyewu di Yogyakarta’’ yang pernah dimuat di
Media hindu. Tolong dibedakan antara agama dan tradisi.”
Walhasil,
selametaan pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 setelah kematian bukan ajaran
hindu sebagaimana yang dikatakan oleh wahabi. Itu hanya merupakan tradisi
sebagaimana yang dikatakan oleh orang hindu sendiri.
Kita
tahu bahwa pelaksanaan tahlilan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah
kematian hanya merupakan adat. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang
terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara
kontinyu manusia mau mengulanginya. (Muhammad
Ma’shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id Fiqhiyyah), Jombang:
Al-Syarifah Al-Khadijah, 2006, h. 79.)
Agama
islam sangat bijak. Dalam menghadapi adat atau tradisi, islam tidak langsung
memangkasnya secara keseluruhan. Namun dilihat dulu kriteria adat tersebut.
Apakah bertentangan dengan syari’at ataukah tidak?
Untuk
mengetahuinya, kita harus melakukan analisa, apakah adat tersebut telah
menghalalkan sesuatu yang diharam oleh syari’at ataukah tidak? Jika ternyata
menghalalkan apa yang diharamkan oleh syari’at, maka adat itu adalah haram.
Seperti adat memakan riba. Syari’at jelas mengharamkan riba’ dengan dalil
shorih. Maka adat yang seperti ini hukumnya adalah haram.
Berbeda
dengan adat yang tidak bertentangan
dengan syari’at. Seperti adat (kebiasaan) wanita haid. Ketika ia mengalami
istihadhoh, maka haidnya dikembalikan kepada adat tersebut. Pengembalian ini
tidak bertentangan dengan syari’at. Sebab tidak ada dalil yang mengatakan
begini: “Jika wanita mengalami istihadhoh, janganlah waktu haidnya dikembalikan
pada adatnya.”
Oleh
karena itu, para ulama ushul fiqih membagi adat menjadi dua; adat fasid dan
adat shohih. Adat fasid adalah adat yang bertentangan dengan syari’at. Adat
shohih adalah adat yang tidak bertentangan dengan syari’at. Adat yang fasid
tidak boleh diikuti. Namun, adat yang shohih boleh diikuti, bahkan boleh
dijadikan sebagai dasar hukum. (Lihat Abu Zahro, Ushul Fiqh, hlm 274 cet, Darul
Fikr Al-‘Arobi)
Berkenaan
dengan adat yang shohih, ulama fiqih merakit sebuah kaidah yakni العادة
محكمة (Adat dapat dijadikan sebagai dasar hukum). Dalam merakit kaidah
tersebut, mereka tidak asal nyeplos seperti adatnya wahabi. Tetapi mereka
memiliki dalil berupa atsar dari Sahabat Ibn Mas’ud, yaitu:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ
حَسَنٌ
Artinya:
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah.” (Asybah Wannazho’ir)
Apakah
acara selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian
bertentangan dengan syari’at? Adakah dalil larangan mengadakan acara selametan
pada hari-hari tersebut?
Ternyata
acara selametan pada hari-hari itu tidak bertentangan dengan syari’at. Tidak
ada dalil, baik dari al-qur’an maupun hadits yang mengatakan: “hai orang-orang
yang beriman! jangan mengadakan selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000
setelah kematian.”
Jadi,
selametan pada hari-hari tersebut tidak bertentangan dengan syari’at. Maka kita
boleh meneruskan adat itu. Ini jika kita bersedia mengikuti ulama sebagai ulil
amri. Jika wahabi tidak mau mengikuti ulil amrin dalam menilai adat, yo
monggo. Gitu aja repot.
Kalau hadistnya "menyerupai", apakah harus sama ???
ReplyDeletekalo nggak sama berarti nggak serupa mas :)
ReplyDeleteLebih tepatnya memodifikasi..hihihi
DeleteLebih tepatnya memodifikasi..hihihi
DeleteWahabi itu apa tho? apa yang selalu menolak tahlilan, ziarah kubur harus dikatakan wahabi? Ketika seorang pembicara sejalan dengan pikiran pendengarnya maka tidak ada masalah... tetapi bila seorang pembicara berbeda dengan pikiran si pendengar maka yang terjadi adalah..... Maaf kalo saya sepakat dengan ustad Abdul Azis
ReplyDeleteApa itu wahhabi?
DeleteSilahkan baca di mari http://qosimaly.blogspot.com/2014/10/apa-itu-wahhabi.html
gembar gembor anti wahabi kok terdengarnya baru satu dasawarsa ini ya? ato sekitar akhir tahun 90an. padahal al muwahidin sudah beberapa abad yll. Abdullah bin abdul wahab mengajak kepada ajaran Rasulullah yang murni, sehingga orang2 Islam yg selama itu nyaman dengan kemlencengannya merasa terusik dengan gerakan Abdullah bin abdul wahab... sehingga gerakanya diberi olok olok "Wahabi" karena benci tidak mau dimurnikan.
ReplyDeleteKomentar nt bukti bahwa nt kurang informasi... :)
Deletesudah jelas kalo itu kebiasaan orang hindu msih saja berupaya untuk membantah...
ReplyDeletebegitulah pemahaman orang2 yg berpikiran jumud.. :)
DeleteNofan: Kaisan nt :)
DeleteBetul..karena takut ga dapet jamaah,apa saja di halalin...comot ajaran agama lain,yg penting dapat jamaah.., ingat ya tahlilan itu cuma di jawa...di pulau lain ga ada..nah loo
DeleteKlo lah ajaran Muhammad Bin Abdul Wahab tentang (katanya) memurnikan Ajaran Islam itu benar. Pastilah di akhir jaman ini akan menjadi Ajaran yg di-anut mayoritas umat Muslim didunia.
ReplyDeleteTapi faktanya........................................????
udah berabad2 disebarkan loh......tetep aja pengikutnya paling sdikit.
Ini fakta...dan Qodarullah..!!
Sedikit di mana?di Indonesia apa di di dunia?..mau tanya tahlilan ,selain ada di indonesia,adanya di negara mana ???
Deletedalam kaidah usul fiqih " Seluruh ibadah itu dilarang kecuali yang diperintahkan/dicontohkan nabi" jadi klo acara selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian itu tidak ada contohnya dari nabi bukan karena tidak ada larangan...kaidahnya jangan dibolak-balik mas
ReplyDeleteMenurut wahabi, segala hal yang tidak dicontohkan Nabi SAW adlh haram:
ReplyDeleteAdzan dg pengeras suara=haram
Berdakwah di tv/radio=haram
Masjid yg tdk beralaskan tanah=haram
Pakai motor/mobil utk pergi ke masjid blm ada di jaman Nabi SAW, apakah haram juga?
Berangkat haji dengan pesawat haram?
Membangun sekolah islam salah?
Apabila paradigma berfikir sempit ini masih dipakai, maka ISLAM akan menjadi agama yang dicap penganutnya trbelakang dan kolot. ilmu2 yang dtemukan oleh para cendekiawan muslim pun mgkin akan dsebutnya bid'ah, karena blm ada di jaman Nabi SAW. apabila diajak utk berdialog, mereka justru tidak datang dgn alasan berdebat tdk diperbolehkan Nabi SAW yg artinya itu haram.
Lalu, apakah yang dilakukan oleh Ahmad Deedat, Zakir Naik, Yusuf Estes dll adalah haram? Padahal mereka telah membantu menyadarkan ratusan (mungkin sekarang ribuan) manusia sehingga mau memeluk Islam.
Semestinya ketika mengambil pembenaran dari Hadits Nabi SAW hendaknya terlebih dahulu melihat konteks yg melatarbelakangi Nabi SAW mengucapkan hal tersebut, apa maksud sebenarnya, dst. Ketika menafsirkan bahwa Kullu itu artinya smua amalan yang datang selain dari Nabi, maka ternyata kemudian banyak ditemukan amalan datang dari sahabat selain khaulafaur rasyidin yang juga telah dijamin masuk surga
Setelah menyadari hal tersebut pemikiran kaku mereka sedikit melunak dengan alasan mereka adlh orang2 yang telah dijamin masuk surga, Namun kemudian dtemukan juga banyak sekali amalan hasil ijtihad para sahabat lainnya yang diamini Nabi SAW ataupun amalan mreka setelah Nabi SAW wafat, seperti ijtihad yang dilakukan oleh para perawi hadits, lalu paradigma sempit mreka tsb berubah yaitu sedikit diperluas dg alasan mreka adalah para generasi terbaik di awal turunnya Agama ini. Hingga sekarang, pemikiran ini lah yang msh mreka pertahankan.
Dan artinya, pintu ijtihad berkaitan dengan amalan sunnah dalam agama ini sejak saat itu tertutup. Mulai saat ini umat islam ga boleh berpikir! Otak mereka tidak boleh digunakan! Semua hasil ijtihad para ulama setelah masa itu adlh bid'ah. Mereka juga tak mau mengerti bahwa upaya memperbanyak kebajikan adalah kebajikan.
Kita semua hendaknya mengambil pelajaran, bahwa pada masa khalifah Ali RA, ada kelompok yang merasa paling benar dan mengkafirkan siapa saja yang tidak sependapat dengannya, hingga membunuh khalifah mereka sendiri. Ketika membunuh Ali RA, ibnu muljam yg berdarah yahudi ini mengatakan "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai 'Ali)," lantas ia membaca ayat:
"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya". [al Baqarah/2:207].
Tentunya kebodohan mereka dalam menafsirkan agama secara serampangan inilah yang melatarbelakanginya.
Namun dari perbedaan pandangan ini, ada sebuah hikmah yang dapat kita petik juga, yg ternyata sangat bermanfaat apabila kita bisa mengambilnya. Yaitu, hendaknya kita sbg umat islam perlu mempelajari dan mengamalkan tuntunan yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Nabi SAW dalam Al-Quran dan Sunnahnya terlebih dahulu. Meski demikian, tidaklah dapat dibenarkan pula menuding muslim yang mengikuti amalan sunnah hasil ijtihad para ulama adalah sesat (bahkan menyebutnya akan masuk jahannam), karena malah ijtihad ini lebih memperjelas pengamalan dan memberi solusi kreatif atas perkara baru yang muncul di kemudian hari.
Dan akhirnya, Hanya kepada Engkau lah kami memyembah dan memohon pertolongan, Tunjukanlah kami jalan yang lurus, yaitu Jalan orang2 yang Engkau beri nikmat, Bukan jalan orang2 yang Engkau beri murka, dan bukan jalan orang2 yang tersesat. Wallahu'alam...
Aamiin...
Deletejawaban orang yg kurang ilmu
Deletesetahu saya, yang anda maksud dengan wahabi tidak seperti itu. Arab Saudi yang banyak orang menganggap sebagai pusat wahabi, di masjidil haram dan di masjid nabawi juga menggunakan pengeras suara dan TV untuk menyiarkan adzan dan sholat di dalam masjid tersebut, karena hal tersebut tidak masuk katagori pelaksanaan ibadah, hanya sarana saja. Tetapi wahabi yang anda maksud, mereka tidak menjalankan bentuk2 ibadah yang tidak ada tuntunannya dari rasulullah, seperti tahlilan kematian (7,100 dll)tetapi mereka tidak melarang untuk berdzikir dan bertahlil setiap hari untuk diri kita sendiri... kita senantiasa berdo'a agar diberikanjalan yang lurus dan hati yang lembut dan terbuka terhadap kebenaran,agar tidak termasuk orang yang sesat...aamiin
Deleteada pendapat lain. coba liat link ini:
ReplyDeletehttp://davidusman.blogspot.com/2011/08/dalil-melaksanakan-tahlilan-atau.html
review lain yang juga menarik dari 4 mazhad tentang masalah yang sama:
ReplyDeletehttp://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.
ReplyDeleteADUL “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.”
AZIZ “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
ADUL “Tapi penentuan waktunya kan sama?”
AZIZ “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
ADUL : “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
AZIZ “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ. (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai penghormatan kepada si mati.
ADUL “Owh, iya ya.”
AZIZ “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
AZIZ “Ya, baca Kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
AZIZ “Alhamdulillah, kami kaum Aswaj tidak pernah baca kitab Weda.”
ADUL “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas, sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
AZIZ “Itu kesalahan Anda, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf, dan gengsi belajar agama kepada para Kiai Pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”
AZIZ : “Terima kasih ilmunya.”
Yg pasti2 aja...yg meragukan ya ga usah dikerjakan,harap maklum masih miskin ilmu,masih proses belajar.
ReplyDeleteudah jelas itu bukan ajaran Islam, Rasul, para sahabat, tabi'in tidak melakukannya. terus melakukannya atas dasar "ini kan baik kok dilarang"
ReplyDeleteagama ini bukan berdasarkan asumsi, tapi semuanya harus berdasarkan dalil.
memang lebih sholeh dari Nabi Muhammad ya?