Perumusan
fiqih sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada periode
sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut.
Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib yang
sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan hukum meskipun
belum dirumuskan secara jelas.
Berkaitan
dengan hal di atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum
mengalami perkembangan pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul
fiqh ternama seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari
keragaman metode dalam mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran
fiqh dalam beberapa madzhab tersebut.
Abu
Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi,
baru kemudian fatwa sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta
istihsan sangat kental sekali.
Sedangkan
Imam Malik lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang
ada di Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari
pada Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau
temukan.
Selain
dua Imam di atas, tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang
memiliki wawasan yang sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah
menimba ilmu dari berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu
meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang
harus dilakukan oleh mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya.
Kemudian
beliau menuangkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya
secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam
sebuah kitab yang terkenal dengan nama “Risalah“.
Risalah
ini tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul
fiqh, akan tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para ahli yang
datang kemudian untuk berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai
pantas disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang
hukum Islam, yang selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“.
Sepeninggal
Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang.
Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti
dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya
terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul
fiqh.
Sebagian
ulama yang kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh
dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci dan mencabangkan
pokok pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan
bentuknya yang sempurna.
Sedangkan
sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari pokok-pokok Imam Syafi’i, dan
tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian lain itu
mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari pemikiran para Imam yang mereka
ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafi’i.
Setelah
meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan
berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan
ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang
masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh
Imam-imam pendahulunya.
(Lihat
Abu Zahro, Ushul Fiqh)
No comments:
Post a Comment