Saya
teringat ucapan guru saya, KH. Thoifur Mawardi saat beliau menukil ucapan
gurunya, Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki. Kata beliau: “Seseorang akan
memusuhi apa yang tidak ia ketahui.”
Hal ini dapat kita buktikan kebenarannya
jika kita melihat artikel-artikel wahabi pada umumnya dan artikel DR. Firanda
pada hususnya dalam menilai tahlilan. Silahkan cek di sini http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/423-dalil-bolehnya-tahlilan
Hampir
dalam setiap membahas tahlilan mereka hanya membahas soal makan dan minum di
rumah duka. Maka jangan heran jika kemudian para member wahabi menyebut
tahlilan sebagai pesta kematian. Mereka mengira bahwa tahlilan hanya dilakukan
pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 setelah kematian. Silahkan cek di sini http://kaahil.wordpress.com/2012/10/20/bagus-teks-doa-cara-bacaan-tahliltahlilan-sejarah-tahlilan-hukum-acara-tahlilan-hari-ke-7-40-100-dan-1000-bidah-tahlilan-dalam-islam-tahlilan-menurut-imam-syafii/
Tanggapan
saya:
Tolong
jika anda menilai sesuatu, lakukanlah penilaian secara proposional dengan niat
mencari kebenaran. Bukan menggunakan hayalan dengan niat menyalahkan. Sebab,
jika menilai sesuatu menggunakan hayalan dengan niat menyalahkan, maka dapat
dipastikan hasil penilaian salah dan terkesan lucu.
Kesalahan
mendasar bagi orang wahabi dan yang sejenisnya, yang hobi membid’ahkan tahlilan
adalah pada kenyataannya mereka sendiri tidak tahu menahu tentang apa itu
tahlilan dan apa saja yang dibaca saat tahlilan. Mereka secara diam-diam
berhayal dan membuat suatu tebakan bahwa tahlilan adalah merupakan perayaan
kematian dengan mendatangi rumah kematian untuk menyantap makanan dan minuman.
Inilah alasan mereka membid’ahkan tahlilan.
Sebagian
yang lain ada yang telah mengetahui apa itu tahlilan dan apa saja yang dibaca
saat tahlilan. Mereka mengakui bahwa
bacaan yang dibaca saat tahlilan tidaklah bid’ah. Mereka tidaklah membid’ahkan
membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat
kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh)
yang ditutup dengan do’a. Mereka
secara diam-diam melakukan analisa secara parsial (juziyah/sebagian) kemudian
menjadikan hasil analisa tersebut untuk menghukumi tahlilan secara universal
(kuliyah/menyeluruh).
Namun
di suatu daerah, mereka melihat bahwa orang yang mengamalkan tahlilan
menghususkan waktunya pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian. Kemudian
mereka menebak bahwa ini merupakan penghususan waktu pelaksanaan tahlilan.
Penghususan inilah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk membid’ahkan
tahlilan.
Sebagian
yang lain ada yang telah mengetahui bahwa waktu pelaksanaan tahlilan tidak
dihususkan. Hal ini telah mereka buktikan bahwa pelaksanaannya tidak hanya pada
hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian. Di daerah lain, tahlilan juga
dilaksanakan pada selain hari-hari tersebut.
Namun mereka melihat bahwa pahala
bacaan tahlilan dikirimkan untuk orang-orang yang telah mati. Menurut mereka,
pengiriman pahala semacam ini tidak ada dalilnya dan tidak bermanfaat. Oleh
karena itu mereka membid’ahkan tahlilan.
Jika
kita berdialog dengan orang wahabi dan yang sejenisnya, maka alasan mereka
membid’ahkan tahlilan tidak akan lepas dari tiga alasan tersebut. Pertama-tama,
mereka akan mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah secara mutlak sebab tidak
ada dalilnya.
Jika
anda menemui orang yang seperti itu, maka yang perlu anda lakukan adalah
menunjukan teks bacaan yang dibaca saat tahlilan. Kemudian, tanyakan kepada
mereka, dari teks tersebut, bacaan mana yang bid’ah?
Jika
hal itu anda lakukan, maka wahabi akan mengelak dan mengatakan bahwa yang
mereka bid’ahkan bukan bacaannya, melainkan penghususan waktunya. Dalam hayalan
wahabi, waku pelaksanaan tahlilan itu dihususkan hanya pada hari ke 3, 7, 40,
100 dan 1000 setelah kematian. Bagi mereka penghususan waktu pelaksanaan suatu
ibadah harus dari syari’at.
Jika
anda menemui wahabi yang seperti ini, maka yang harus anda lakukan adalah
menunjukan waktu pelaksanaan tahlilan disetiap daerah untuk membuktikan bahwa
waktu pelaksanaan tahlilan tidak dihususkan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000
setelah kematian.
Jika
anda melakukan hal itu, maka wahabi akan mengelak dan mengatakan bahwa yang
mereka bid’ahkan adalah pengiriman pahala bacaan dan do’a kepada orang mati.
Mereka akan mengajukan berbagai dalil bahwa hal itu tidak bermanfaat.
Mengenai
pengiriman pahala untuk mayyit, apakah sampai atau tidak, maka dalam hal ini semua
ulama sepakat bahwa pengiriman itu sampai sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn
Qoyyim dan Ibn Taimiyyah.
Pendapat
Syaikh Ibn Qoyyim.
فَأَفْضَلُ مَايُهْدَى إِلَى اْلمَيِّتِ الْعِتْقُ
وَالصَّدَقَةُ وَالَإِسْتِغْفَارُلَهُ وَالدُّعَاءُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْاَنِ وَإِهْدَاءُ هَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ
أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْـحَجِّ (اَلْرُوْحُ:
142)
Artinya:
“Sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak,
sedekah, istigfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka
rela (tanpa mengambil upah) yang dihadiahkan kepada mayit, juga sampai padanya.
Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Al-Ruh, 142)
Pendapat
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah.
وَسُئِلَ: عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ
وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ النَّارِ"
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ
ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ
اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ
بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ.
(مجموع فتاوى ابن تيمية, 24/323).
Artinya:
“Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil
70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit,
agar diselamatkan oleh Allah dari siksa api neraka, apakah hal itu
berdasarkan hadits shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu
dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai atau tidak?”
Beliau
menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil 70.000 kali baik lebih atau kurang,
lalu pahalanya dihadiahkan kepada mayit, maka hal tersebut bermanfaat bagi
mayit, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyyah, juz 24, hal. 323).
Kemudian
Imam Qurthubi dengan tegas bekata:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُصُوْلِ ثَوَابِ
الصَّدَقَةِ لِلأَمْوَاتِ فَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
وَالدُّعَاءِ وَالْإِسْتِغْفَارِ إِذْ كُلٌّ صَدَقَةٌ بِدَلِيْلِ قَوْلِهِ
عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِي
وَالْمُسْلِم) فَلَمْ يُخَصَّ الصَّدَقَةُ بِالْمَالِ (مختصر تذكرة القرطبي:
25)
Artinya; Para Ulama telah sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-qur’an, doa dan istighfar, karena semua itu adalah sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah “setiap kebaikan adalah sedekah”(HR. Bukhari dan Muslim) Nabi tidak mengkhususkan sedekah itu hanya berupa harta benda saja (namun juga bisa berupa bacaan al-quran, doa, dan istighfar dan lain sebagainya”). (Mukhtashar Tadzkirah Al-Qurthubi, 25)
Biasanya
orang wahabi akan mengatakan bahwa dalil di atas bertentangan dengan Surat
An-Najm; 39 yang menyatakan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain apa yang
telah diusahakan. Jadi pahala tahlil tidak bermanfaat bagi mayyit.
Ucapan
wahabi tersebut telah dibantah oleh Dr. Muhammad Bakar Ismail dengan menukil penjelasan
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (Panutan Wahabi), sebagai berikut:
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِي
سُوْرَةِ النَّجْمِ: ﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى﴾. فَاِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ,
فَلَوْلَا اَنَّهُ كَانَ بَارًا بِـهِمْ فِي حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّـمُوا عَلَيْهِ
وَلاَ تَطَوَّعُوا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِي الْـحَقِيْقَة ثَـمْرَةٌ مِنِ
ثِـمَارِ بِرّهِ وَاِحْسَانِهِ
Artinya:
“Dalil-dalil tersebut tidak bertentangan dengan ayat yang artinya: Bahwa
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS.
Al-Najm, 39) “Sesungguhnya
hadiah pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari
usahanya sendiri karena seandainya jika ia tidak berbuat baik ketika masih
hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala
untuknya. Karena
itu, sejatinya apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal
dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit
semasa hidupnya.” (al-Fiqh
al-Wadlih, juz 1, hal. 449).
Meskipun
dalil-dalil sampainya pahala yang dikirimkan kepada mayyit begitu jelas dan
telah menjadi kesepakan ulama, namun para ahli bid’ah menolak dalil dan
kesepakan tersebut sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Ibnu Qoyyim. Katanya:
وَذَهَبَ أَهْلُ اْلبِدَعِ مِنْ أَهْلِ اْلكَلَامِ أَنَّهُ
لَايَصِلُ إِلَى اْلمَيْتِ شَىءٌ اَلْبَتَّةَ لَا دُعَاءٌ وَلَا غَيْرُهُ (اَلْرُوْحُ:
117)
“Para
ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala
baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah
meninggal dunia ” (Al-Ruh,
117)
Dapat disimpulkan bahwa Tahlilan Itu Bid'ah menurut ahli bid'ah. Wallohu a'lam.
No comments:
Post a Comment