Ketidak
fahaman seseorang terhadap ucapan orang lain tentu akan berdampak negative.
Terlebih jika dalam memahami ia terobsesi untuk menyalahkan. Hal ini
sebagaimana yang terjadi pada salah satu Ustadz wahabi bernama DR. Firanda.
Dalam
sebuah artikel, ia mengatakan bahwa ucapan Syekh Bushoiri dalam syair burdahnya
adalah sebentuk kemusyrikan.
Syekh Al-Bushiri berkata dalam syairnya:
Syekh Al-Bushiri berkata dalam syairnya:
فإن من جودك الدنيا وضرَّتَها ومن علومك علمَ اللوح والقلم
Artinya: “Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena (yang mencatat di lauhil mahfuz apa yang akan terjadi hingga hari kiamat)”
Dalam mengomentari syair tersebut, DR.
Firanda berkata: “Hal ini jelas merupakan kesyirikan dan menyamakan kedudukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah.” Alasan Firanda
menyebutnya sebagai penyamaan kedudukan Nabi dengan Tuhan adalah Karena hanya Allahlah
yang mengetahui ilmu lauhil mahfuz.”
Ia menggunakan sebuah hadits yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhori dari Ibn Abbas untuk memperkuat pendapatnya tersebut, sebagai
berikut:
عن ابن عباس سمع عمر رضي الله عنه يقول على المنبر سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله
Dari Ibnu Abbas, dia mendengat Umar berkata di atas mimbar, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam, sesunggunhya aku hanyalah seorang hamba Allah maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya” (HR Al-Bukhari no 3445, 6830)
Tanggapan Saya:
Sebelum saya memberikan tanggapan ada baiknya
saya beritahu kepada anda bahwa sebenarnya artikel DR. Firanda bukan murni
karyanya melainkan hanya terjemahan dari kitab Ar-Rod Alal Burdah karya
Abdulloh bin Abdur Rohman Aba Bathin.
Tidak hanya DR. Firanda yang
menerjemahkannya, Mahrus Ali yang mengaku sebagai mantan Kyai NU juga
mencantumkan pernyataan yang senada. (Lihat, Mahrus Ali, Mantan Kyai NU
Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik, hal. 54)
Sebenarnya tidak ada kalimat yang dengan
shorih yang menunjukan bahwa Syekh Bushoiri menyamakan kedudukan Nabi SAW dengan
Alloh. Semua itu murni kepahaman Firanda yang dalam memahami bait tersebut
bertujuan menyalahkan Syekh Bushoiri.
Dalam Al-Quran dijelaskan tentang kafirnya
orang Nasrani karena telah memosisikan Al-Masih pada kedudukan Tuhan seperti
pada Al-Maidah: 17.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَم
Artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Alloh adalah Al-Masih Ibn Maryam…”
Ayat ini menunjukan kekafiran orang nasrani
karena dengan jelas mereka mengatakan Alloh adalah Al-Masih Ibn Maryam. Mereka
menyamakan kedudukan Al-Masih dengan Tuhan secara jelas, tanpa harus di
tafsirkan. Hal senada juga dijelaskan dalam Al-Maidah 72.
Jadi, hadits “Janganlah
kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah
berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam…” adalah
larangan menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai Tuhan sebagaimana Nasrani menyebut
Al-Masih sebagai Tuhan.
Sangat tidak tepat jika
hadits tersebut digunakan sebagai dalil untuk menyebut ucapan Syekh Bushoiri
sebagai ucapan kufur. Sebab, Syekh Bushoiri tidak mengatakan Nabi Muhammad
sebagai tuhan. Beliau hanya mengatakan bahwa sebagian dari pengetahuan
Nabi adalah mengetahui lauh mahfuzh.
Lauh mahfuzh (لَوْحٍ
مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan seluruh catatan
kejadian di alam
semesta.
Allah telah mencatat segala kejadian-kejadian di dalam Lauh Mahfuzh, dari
permulaan zaman sampai akhir zaman. Baik berupa kisah nabi dan rasul, azab yang menimpa suatu kaum, pengetahuan tentang wahyu para nabi dan rasul, tentang
penciptaan alam
semesta dan
lain-lain, sekalipun jika kita tidak melihat segala sesuatu, semua itu ada
dalam Lauh Mahfuzh.
Dapat dipahami bahwa Lauh mahfuzh termasuk
perkara yang ghaib. Untuk masalah ghaib, maka hanya Alloh lah yang mengetahui.
Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa ada sebagian manusia yang diberi
pengetahuan ilmu ghaib seperti para nabi dan rosul sebagaimana yang dijelaskan
dalam al-qur’an surat Jin’: 26-27.
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
(26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
خَلْفِهِ رَصَدًاعَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا
مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
رَصَدًا (27)
Artinya:
26. (Dia adalah Tuhan) Yang
Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang
yang ghaib itu. 27. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya
Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Dalam Tafsir Fathul Qodir Juz 7 hlm 334 di
jelaskan:
أعلم الله الرسول من
الغيب الوحي ، وأظهره عليه مما أوحي إليه من غيبه ، وما يحكم الله ، فإنه لا يعلم
ذلك غيره .
Dalam Kitab Shofwatut Tafasir, juz 3 hlm 127
di jelaskan:
قال المفسرون : لا يطلع
الله على غيبه أحداً إلا بعض الرسل ، فإنه يطلعهم على بعض الغيب ، ليكون معجزة لهم
، فإن الرسل مؤيدون بالمعجزات ، ومنها الإِخبار عن بعض المغيبات ،
Masih banyak lagi tafsir-tafsir yang
memberi penjelasan seperti itu. Namun, cukuplah di sini dua tafsir di atas
sebagai bukti bahwa Rosul memiliki pengetahuan tentang ilmu ghaib. Pertanyaannya,
sampai di manakah pengetahuan yang diberikan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad
SAW tentang ilmau ghaib?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita
simak hadits dari Mu’adz Bin Jabal.
عن معاذ بن جبل قال قال
رسول الله (في حديث طويل) فتجلى لي كل شيء وعرفت . رواه أحمد (22162) والترمذي
(3235) وقال الترمذي : هذا حديث حسن صحيح .
Rosululloh SAW bersabda: “Maka segala sesuatu
tampak padaku dan aku mengetahuinya.” (HR. Ahmad 22162 dan Tirmidzi 3235, Imam
Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shohih).
Lauh mahfuzh mencatat segala sesuatu. Segala
sesuatu tampak oleh Nabi kemudian beliau mengetahuinya. Ini menunjukan bahwa
Nabi Muhammad SAW mengetahui lauh mahfuzh. Artinya, sebagian dari mukjizat Nabi Muhammad
SAW adalah mengetahui ilmu ghaib. Ilmu ghaib inilah yang tertera dalam lauh
mahfuzh.
Pada dasarnya, hanya Alloh yang mengetahui
lauh mahfuzh. Namun kemudian Alloh menganugrahkan sebagian pengetahuan itu
kepada Nabi Muhammad SAW. Maka wajar jika Syekh Bushoiri berkata:
ومن علومك علمَ اللوح والقلم
“…. dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil
mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena.”
Jadi mana perkataan kufur beliau? Bukankah
beliau hanya menyampaikan kandungan quran dalam sebuah syair untuk memuji Nabi
Muhammad SAW?
Jika wahabi masih menyalahkan pujian beliau kepada
Nabi Muhammad SAW, maka mari kita bandingkan dengan syair pujian wahabi
terhadap Ibn taimiyyah yang disebarkan oleh wahabi sebagai berikut:
ماذا
يقول الواصفون له * وصفاته جلت عن الحصر
هو حجة
الله قاهرة * هو بيننا أعجوبة الدهر
Artinya: “Dapatkah mereka melukiskan
sifat-sifat terpuji Ibn Taimiyyah, sedangkan sifat-sifatnya yang terpuji telah
melampui batas. Dia adalah hujjah Alloh yang kokoh dan keajaiban masa di antara
kami.” (Ibn Nashir, Ar-Rod Al-Wafir, hlm 96, Mar’I Al-Karami, Asy-Syadat
Az-Zakiyyah, hlm 38, dan Ibn Abdil Hadi, Al-Uqud Ad-Durriyyah, hlm. 25)
Hanya Alloh yang memiliki sifat terpuji tanpa
batas. Akan tetapi wahabi mengatakan bahwa sifat terpuji Ibn Taimiyyah tanpa
batas. Dengan demikian, wahabi telah menyamakan kedudukan Ibn Taimiyyah dengan
Alloh. Hujjah Alloh hanya Al-Qur’an. Namun wahabi
menyebut Ibn Taimiyyah sebagai Hujjah Alloh. Dengan demikian wahabi telah
menyamakan kedudukan Ibn Taimiyyah dengan Qur’an.
Apakah wahabi kafir karena telah menyamakan
Ibn Taimiyyah dengan Alloh dan Al-Qur’an? Jawab wahai Firanda!!!!
No comments:
Post a Comment