Berawal
dari tragedi penyiraman terhadap Bp. Thamrin yang dilakukan oleh jubir FPI, Bp.
Munarman beberapa waktu lalu saat berdialog dalam sebuah acara di salah satu
stasiun televisi swasta, saya tertarik untuk ikut mengamati masalah yang
menjadi penyebab tragedi itu.
Terus
terang, saya tidak setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh Bp. Munarman.
Namun apa hendak dikata, semua telah terjadi. Tentunya ini menjadi pengalaman
tersendiri bagi kita agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Saya rasa semua
setuju dengan saya. Untuk itu kita meski mengkaji kembali penyebab kejadian
tersebut.
Menurut
saya penyebab tragedi itu adalah pro-kontra masalah sweeping tempat maksiat
yang dilakukan oleh ormas seperti FPI. Bp. Munarman sebagai pihak yang setuju
dengan adanya sweeping, tentu saja
menolak pembentukan undang-undang larangan sweeping. Sebaliknya, Bp. Thamrin
yang tidak setuju dengan adanya sweeping ormas, menyetujui pembentukan
undang-undang tersebut.
Ada
hal menarik yang perlu kita perhatikan dari pro-kontra tersebut, yakni
kesepakatan antara keduanya. Keduanya sepakat bahwa kemaksiatan adalah
perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, saya ingin membahas masalah sweeping
ormas dari kesepakatan ini. sebab, membahas suatu masalah dari hal yang
diperselisihkan, tidak akan ada ujungnya.
Hal
lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa semua pihak yang pro dan kontra
adalah merupakan warga Negara Indonesia. Sebagai warga Negara Indonesia, kita
harus mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah
Indonesia, telah membuat undang-undang larangan maksiat seperti minuman keras
dan zina, bahkan seluruh agama di Indonesia melarang dua hal tersebut.
Dapat
disimpulkan bahwa seluruh warga Indonesia, baik pemerintah maupun rakyat, ormas
ataupun masarakat, apapun agamanya, mereka semua, secara keseluruhan setuju
dengan adanya undang-undang larangan miras dan perzinahan sebagaimana mereka
juga setuju dengan adanya undang-undang larangan korupsi ditingkat pejabat dan
larangan maling ditingkat rakyat.
Pertanyaannya
adalah siapa yang berkewajiban menegakkan undang-undang tersebut? Apakah
terbatas pada jajaran pemerintah seperti polisi atau seluruh warga Indonesia?
Tentu saja kita semua akan menjawab bahwa polisi adalah pihak yang berwenang
dan wajib menegakan hukum tersebut.
Permasalahan
selanjutnya adalah bolehkah rakyat turut membantu polisi? Misalnya Bp. Thamrin
melihat seorang maling sedang mencuri dirumah tetangganya. Kebetulan saat itu
tidak ada polisi. Apa yang harus dilakukan oleh Bp. Thamrin? Mencegah maling
tersebut atau lari ke kantor polisi untuk melapor?
Anda
bisa saja menjawab bahwa Bp. Thamrin harus mencegah maling itu dengan cara
melaporkannya ke polisi. Namun perlu anda ketahui bahwa untuk melakukan hal itu
hingga polisi datang memerlukan waktu yang cukup bagi maling untuk lari.
Seandainya
Bp. Thamrin melakukan seperti jawaban anda, maka dapat dipastikan maling itu
sudah pergi dengan barang curiannya saat polisi datang. Artinya pencuri itu
tidak tertanggkap. Dengan demikian polisi belum mampu menegakkan hukum.
Kita
semua menyadari hal ini. Kesadaran ini menciptakan ide untuk mengadakan ronda
secara bergilir yang dilakukan oleh hansip dan dibantu oleh rakyat. Tugas
mereka adalah menjaga desa dari maling dengan cara berkeliling. Ketika ada
maling, maka secara spontan mereka akan menangkap maling tersebut tanpa harus
melapor ke polisi terlebih dahulu. Bukankah demikian?
Saya
tidak perlu menunggu jawaban dari Bp. Presiden atau seluruh rakyat Indonesia.
Sebab, jika saya menunggu jawaban mereka, maka saya tidak bisa menyelesaikan
artikel ini. Bukankah begitu? Jadi, saya pastikan saja bahwa Bp. Presidan dan
seluruh rakyat Indonesia akan menjawab “iya”. Artinya, kita semua sepakat bahwa
polisi tidak akan pernah mampu menegakkan hukum tanpa adanya bantuan rakyat.
Bohong
jika kapolri mengatakan mampu menegakkan hukum tanpa bantuan rakyat. Jadi
polisi dan rakyat harus bekerja sama dalam menegakkan hukum. Kita semua harus
bersatu melawan setiap tindakan yang melanggar hukum. Saya rasa semua setuju
dengan tesis saya ini. Alhamdulillah.
Kemaksiatan
seperti minuman keras dan perzinahan adalah perbuatan yang melanggar hukum.
Sebagaimana polisi tidak mampu menegakkan undang-undang pencurian tanpa bantuan
rakyat, mereka juga tidak bakalan mampu menegakkan undang-undang miras dan
perzinahan tanpa bantuan rakyat.
FPI
adalah rakyat Indonesia yang melakukan sweeping terhadap tindak pelanggaran
tersebut. Mereka adalah warga Negara Indonesia yang bersedia membantu polisi
dalam menegakkan undang-undang miras dan perzinahan. Lalu mengapa mereka
dilarang melakukan sweeping?
Mungkin
Bp. Presiden dan Bp. Kapolri akan berkata begini: “Oh tidak, tidak, analog anda
terlalu mengada-ada. Masalah miras dan perzinahan tidak bisa dianalogkan dengan
masalah maling.”
Jika
benar demikian, maka saya tanya: “Bukankah Negara melarang maling? Bukankah
Negara juga melarang miras dan perzinahan? Maling, miras dan perzinahan adalah
tindakan yang sama-sama melanggar hukum. Jadi, wajar jika saya menganalogkan
keduanya. Wong semua itu melanggar undang-undang kok. Lalu di mana letak
mengada-adanya?”
Mungkin
kemaren anda membaca media yang memuat artikel karya para pemerhati Hak Asasi
Manusia yang subtansinya adalah mengecam tindak anarkisme yang dilakukan oleh
ormas seperti FPI saat melakukan sweeping. Artikel itu menyebutkan bahwa
tindakan itu dilakukan oleh para preman berjubah dan berkupyah putih. Kemudian
diahir tulisannya ia membuat kesimpulan bahwa tindakan anarkis harus dilarang,
siapapun pelakunya. Maka pemerintah harus membuat undang-undang larangan
sweeping.
Oh
ya, ya, saya pernah membaca artikel itu. Anda benar, bahwa para pemerhati HAM
itu sangat tidak setuju dengan adanya tindak anarkisme. Jika demikian berarti
masalahnya adalah tindak anarkisme.
Kita
sepakat bahwa tindak anarkis harus dilarang. Tapi tampaknya kita kurang adil
dalam menyingkapi masalah anarkisme. Terbukti, para pemerhati HAM itu tidak
pernah menyinggung masalah anarkisme yang dilakukan oleh polisi dan satpol PP
saat menggusur toko milik rakyat.
Oh
tidak, tidak, apa yang dilakukan oleh polisi dan satpol PP saat menggusur toko
milik rakyat, itu tidak termasuk anarkisme sebab mereka adalah pihak yang
berwenang. Begitu kira-kira komentar Bp. Presiden.
Jika
benar demikian, maka saya tanya: “Apa kewenangan polisi dan satpol PP? apakah
mereka berwenang melakukan tindak anarkisme? Jika iya, lalu mengapa anarkisme
ormas saat men-sweeping tempat maksiat dilarang?”
Kita
meski memiliki ketegasan dalam menilai anarkisme. Jika ormas dilarang melakukan
sweeping karena melakukan anarkisme, maka kita juga harus melarang polisi dan
satpol PP menggusur toko rakyat. Sebab penggusuran juga termasuk tindak
anarkis.
Bp.
Kapolri dengan gaya santun memberi komentar: “polisi dan satpol PP melakukan
hal itu demi ketertiban. Jadi saya rasa, anarkis yang mereka lakukan tidak
bermasalah.”
Jika
benar demikian, maka mari kita bandingkan dengan komentar para pemerhati HAM.
Menurut mereka, anarkisme harus dilarang, siapapun pelakunya. Sekarang saya
tanya: “Sebenarnya anarkisme itu harus dilarang atau kah sebuah tindakan yang
tidak bermasalah?”
Bp.
Presiden tentu lebih tahu jawabannya. Beliau mungkin akan menjawab begini:
“Kita lihat dulu apa motif anarkisme itu. Jika motifnya jelek maka anakisme
adalah tindakan buruk namun jika motifnya bagus maka anarkisme adalah hal
positif.”
Bagus
jika Bp. Presiden memiliki jawaban seperti itu. Jadi sekarang kita tidak lagi
memiliki masalah. Polisi dan satpol PP boleh melakukan tindak anarkis jika
motifnya bagus. Dengan demikian ormas juga boleh melakukan tindak anarkis jika motifnya
bagus.
Para
pemerhati HAM kembali unjuk suara. Kata mereka: “Anda tidak memahami ucapan Bp.
Presiden. Dengarkan dulu penjelasan saya. Maksud beliau adalah jika tindak
anarkis dilakukan oleh polisi dan satpol PP dengan motif bagus maka ini tidak masalah
namun jika dilakukan oleh ormas maka ini adalah perbuatan negative sekalipun
motifnya baik.”
Saya
jawab: “Pemahaman anda terlalu subjektif. Yang objektif geh. Bagaimana bisa
satu tindakan memiliki penilaian berbeda? Pemahaman anda tak jauh beda dengan
pemahaman seperti ini: “Pejabat korup tidak masalah. Tapi rakyat maling adalah
salah. Bagaimana bisa seperti itu?”
Ahirnya
masalah ini tidak terselesaikan. Kita sibuk saling menyalahkan pihak lain.
Bersamaan dengan itu, para pezina dan pemabuk, mereka asik dengan pelanggaran
yang mereka lakukan. Siapa yang salah? Pemerhati HAM yang anti anarkisme atau
ormas yang melakukan sweeping ataukah para pemabuk dan pezina?
Jawaban
yang tepat adalah para pemabuk dan pezina itulah yang salah sebab mereka
melanggar undang-undang, baik undang-undang Negara maupun undang-undang agama. Saya
rasa, Bp. Presiden lengkap dengan seluruh pejabat, serta pemerhati HAM dan
ormas lengkap dengan masyarakat setuju dengan jawaban saya.
Jika pun ada yang
tidak setuju, saya yakin mereka adalah para pemabuk dan pezina atau orang-orang
yang mendapat keuntungan dari perbuatan itu. Tidak peduli siapapun dia, mungkin
rakyat dan tidak menutup kemungkinan pejabat.
Apapun
itu, yang jelas mabuk dan zina adalah perbuatan yang melanggar hukum. Polisi
wajib menegakkan hukum. Oleh karena polisi tidak mampu menegakkan hukum tanpa
bantuan rakyat maka rakyat harus membantu polisi.
Caranya
adalah polisi harus melakukan patroli seperti biasanya. Sementara rakyat
melakukan sweeping seperti ketika mengadakan ronda. Para pemerhati HAM tidak
memiliki hak untuk melarang kerja sama ini. Seandainya mereka nekat melarang
kerja sama tersebut dan mendesak pemerintah agar memberlakukan undang-undang
larangan sweeping, maka pemerintah tidak perlu menggubrisnya. Sebaliknya
pemerintah harus mengajak mereka untuk ikut kerja sama.
Dengan
begitu terciptalah persatuan dalam menegakkan hukum. Jika ini dapat
direalisasikan maka para pemilik media akan diuntungkan sebab mereka bisa
mendapatkan berita tentang persatuan pejabat dan rakyat.
Pihak asingpun tentunya akan bangga melihat persatuan ini. Bisa jadi mereka akan memberikan penghargaan kepada Bp. Presiden karena telah berhasil menciptakan persatuan antara pejabat dan rakyat dalam menegakkan hukum.
Pihak asingpun tentunya akan bangga melihat persatuan ini. Bisa jadi mereka akan memberikan penghargaan kepada Bp. Presiden karena telah berhasil menciptakan persatuan antara pejabat dan rakyat dalam menegakkan hukum.
Bukankah
kita semua mendambakan persatuan dan tegaknya hukum? Lalu bagaimana anda akan
menolak saran saya ini? wallohu a’lam.
No comments:
Post a Comment