Di awal artikel yang berjudul semua bid’ah adalah sesat, DR. Firanda menulis: "Semua bid'ah adalah kesesatan", demikianlah kaidah yang merupakan wahyu dari Allah yang telah dilafalkan oleh Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa sallam-. (HR Muslim no 2042) Silahkan anda cek di web miliknya http://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/92-semua-bidah-adalah-kesesatan
Tanggapan
saya:
Sebelum
membahas masalah ini, pertama-tama saya tegaskan bahwa sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah Al-Qur'an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad,
dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua
bid'ah adalah kesesatan (HR. Muslim, no 2042)
Artikel
saya bukan untuk menentang hadits tersebut melainkan untuk membantah pemahaman
DR. Firanda. Bantahan ini saya tulis karena dalam memahami hadits tersebut,
ulama ahlu sunah waljama’ah membagi bid’ah menjadi dua. Tidak seperti DR.
Firanda yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Pernyataan
tersebut bersumber dari pemahaman ulama mereka, yakni Utsaimin. Dalam kitab
Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’I Wa Khothoril Ibda’, dia berkata:
قوله (كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات
الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلي أقسام ثلاثة او إلي
أقسام خمسة؟ أبدا هذا لايصح . (محمد بن صالح العثيمن, الإبداع في كمال الشرع وخطر
الإبتداع ص 13 )
Artinya:
“Sabda Nabi (Semua bid’ah sesat) bersifat global, umum, menyeluruh dan
dipagari menggunakan perabot yang paling kuat yaitu “kullu” (seluruh). Apakah
setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga
bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah sah.”
Intinya,
-bagi wahabi- bid’ah tidak boleh dibagi. Semua bid’ah adalah sesat. Namun
anehnya dalam kitab lain, Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah dunia dan
bid’ah agama. Katanya:
الأصل في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا أن
يدل الدليل علي تحريمه لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام
بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته (العثيمين شرح العقيدة الواسطية ص
639-640 )
Artinya:
“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia-red) adalah
halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil
yang menunjukan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan
agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan
agama adalah haram dan bid’ah kecualai ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah
yang menunjukan disyari’atkannya.”
Perhatikan
kalimat “Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia”. Kalimat ini menunjukan
bid’ah dunia. Selanjutnya kalimat “Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan agama”.
Kalimat ini menunjukan bid’ah agama. Aneh kan? Kalau bid’ah tidak boleh
dibagi, mengapa wahabi nekat membaginya menjadi dua?
Jika
pertanyaan itu kita ajukan kepada wahabi, maka mereka akan menjawab begini: “Yang
boleh dibagi hanya bid’ah dunia. Sementara bid’ah agama tidak boleh dibagi.
Dalam masalah agama, Rosululloh SAW tidak pernah mengatakan adanya bid’ah yang
hasanah.”
Sebenarnya
jawaban tersebut terlalu dipaksakan. Jika alasannya Rosululloh SAW tidak pernah
menyebut bid’ah hasanah, seharusnya wahabi juga tidak membagi bid’ah menjadi
bid’ah dunia dan bid’ah agama. Sebab, Rosululloh SAW juga tidak pernah membagi
bid’ah menjadi bid’ah dunia dan bid’ah agama.
Untuk
mengatasi masalah tersebut, wahabi akan mengajukan dalil berupa hadits bahwa
Rosululloh SAW bersabda: “Antum a’lamu biddunyakum” (Kalian lebih tahu
tentang urusan dunia kalian). Berdasarkan hadits ini, wahabi bilang bahwa
bid’ah dunia tidak apa-apa. Tapi bid’ah agama tidak boleh. Dalam masalah agama
tidak ada yang namanya bid’ah hasanah.
Namun
pada kenyataannya, wahabi tidak mampu menghindar dari pembagian bid’ah menjadi
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Ketika membahas masalah bid’ah agama, Utsaimin
berkata:
لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام
بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته (العثيمين شرح العقيدة
الواسطية ص 639-640 )
Artinya:
“Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red)
adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram
dan bid’ah kecualai ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan
disyari’atkannya.” (Al-Utsaimin, Al-Aqidah Al-Wasathiyah, hlm. 639-640).
Perhatikan
kalimat “hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red)
adalah dilarang.” Kalimat ini menunjukan bahwa bid’ah dalam agama
adalah jelek. Dalam bahasa arab jelek disebut sayyi’ah. Dengan demikian bid’ah
dalam agama yang tidak sesuai dengan al-kitab dan as-sunah adalah bid’ah
sayyi’ah.
Perhatikan
kalimat “kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan
disyari’atkannya.” Kalimat ini menunjukan adanya bid’ah dalam agama
yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunah. Sesuatu yang sesuai dengan al-Kitab
dan as-Sunah menunjukan bahwa ia adalah hal yang baik. Dalam bahasa arab
sesuatu yang baik disebut hasanah. Dengan demikian bid’ah dalam agama yang
sesuai dengan al-kitab dan as-sunah adalah bid’ah hasanah.
Adanya
bid’ah hasanah juga diakui oleh salah satu ulama yang dibanggakan oleh wahabi,
yaitu Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Dalam majmu’ Fatawi ia menukil kalam Imam
Syafi’I kemudian menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah. Kata beliau:
قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا
وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه
قد تكون حسنة (إبن تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )
Artinya:
Imam Syafi’I berkata: “Bid’ah ada
dua. (Pertama), bid’ah yang bertentangan dengan kitab (Qur-an), sunah (Hadits),
ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rosululloh SAW maka ini adalah bid’ah yang
sesat. (Kedua), bid’ah yang tidak bertentangan dengan semua itu, maka bid’ah
ini terkadang hasanah (Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawi, Juz 20, hlm 127).
Perhatikan
kalimat: “وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون
حسنة لقول” (bid’ah yang tidak bertentangan dengan kitab, (Al-Qur’an), sunah,
ijma’ dan atsar, bid’ah tersebut adalah bid’ah حسنة
(hasanah). Jadi, Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.
Jika
kita ajukan pendapat Ibn Taimiyyah tersebut, maka wahabi akan mengelak dan
berkata begini: “Perkataan Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang merujuk pada
perkataan Umar Ra, tidaklah bisa langsung anda fahami berarti dengan ini boleh
mengadakan bid’ah. Karena beliau tidak juga memutlakan. Beliau berkata
terkadang bisa menjadi suatu kebaikan… dst. Artinya terkadang juga tidak baik
ketika perbuatan tersebut tidak didasari hal yang di syari’atkan.”
Intinya,
menurut wahabi, yang dimaksud bid’ah hasanah oleh Syaikhul Islam adalah
menghidupkan kembali sunah yang telah ditinggalkan. Seperti sholat terawih. Sholat
terawih pernah dilakukan oleh Nabi SAW namun selanjutnya ditinggalkan.
Ketika
Umar RA menjadi kholifah, beliau menghidupkannya kembali. Ini yang dimaksud
bid’ah hasanah oleh Syekhul Islam. Jadi bukan berarti beliau memperbolehkan
mengadakan amalan bid’ah yang tidak ada dijaman Nabi SAW. Begitu kata wahabi.
Sebenarnya
pemahaman wahabi sangat lucu. Bagaimana bisa amalan yang pernah dilakukan oleh
Nabi SAW disebut bid’ah? Bukankah setiap ucapan dan perbuatan beliau adalah
sunah? Lalu mengapa sholat terawih yang pernah dilakukan oleh beliau, disebut
bid’ah hasanah?
Pemahaman
wahabi semakin tampak kacau manakala kita lihat fakta bahwa Syaikhul Islam, Ibn
Taimiyyah menciptakan amalan bid’ah. Bid’ah ciptaan beliau adalah cara dan
waktu dzikir yang menjadi rutinitasnya sebagaimana yang diceritakan oleh salah
satu muridnya, Umar Bin Ali Al-Bazar, sebagai berikut:
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ
السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ
الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ
ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا
الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ.
وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ
بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ
وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ
ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ
حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ
أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ
الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ
الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. اهـ (عمر
بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
Inti
dari kisah tersebut adalah setiap selesai sholat shubuh, Ibn Taimiyah berdzikir
secara jama’ah. Kebiasaan Ibn Taimiyyah telah maklum. Ia sulit diajak bicara
setelah sholat subuh kecuali terpaksa.
Perhatikan
kalimat:
مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ
بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ
Artinya:
“Di tengah-tengah dzikir itu, Ibn Taimiyyah seringkali menatapkan
pandangannya ke langit.”
Perhatikan
kalimat:
هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ
وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ
حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ
الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ
تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا
Artinta:
“Seperti inilah kebiasaan Ibn Taimiyah; membaca Fatihah dan mengulang-ulangnya
dari fajar hingga matahari naik.”
Apakah
Rosululloh SAW pernah melakukan hal itu? membaca fatihah secara berulang-ulang
dari setelah sholat shubuh hingga matahari naik? Jika iya, silahkan tunjukan
dalilnya. Jika tidak, berarti itu merupakan bid’ah yang diciptakan oleh Syaikhul
Islam.
Oleh
karena itu, jika ucapan Ibn taimiyyah tentang adanya bid’ah hasanah dipahami
sebagai menghidupkan sunah yang telah lama ditinggalkan seperti yang dipahami
oleh wahabi, maka mau tidak mau wahabi harus menyebut beliau sebagai ahli
bid’ah yang sesat. Sebab beliau melakukan amalan yang sama sekali tidak pernah
dilakukan oleh Nabi SAW.
Walhasil,
dalam memahami bid’ah, wahabi melakukan tiga kesalahan fatal yang
menunjukan kerancuan manhaj wahabi.
Pertama, wahabi melarang pembagian bid’ah. Tetapi justru mereka sendiri
yang membagi bid’ah menjadi bid’ah dunia dan bid’ah agama.
Kedua, wahabi melarang penyebutan bid’ah hasanah dalam urusan agama.
Tetapi justru mereka sendiri yang menyebut adanya bid’ah hasanah dalam urusan
agama.
Ketiga, wahabi melarang membuat amalan bid’ah sekalipun amalan tersebut
baik. Tetapi justru ulama wahabi sendiri yang membuat amalan bid’ah.
Konsep
Bid’ah Hasanah Versi Ahlu Sunah.
Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Kata beliau:
الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا
أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلَالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍ.(الحافظ البيهقي, مناقب الإمام الشافعي, 1/469)
Artinya:
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi
al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlalalah (tersesat).
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (al-Baihaqi,
Manaqib al-syafi’i, 1/469).
Untuk
lebih jelasnya silahkan baca artikel saya Mafahim Konsep Bid'ah Hasanah di http://goleksuwargo.blogspot.com/2013/07/mafahim-konsep-bidah-hasanah_9643.html
Ulama
dari 4 madzhab juga mengakui adanya bid’ah hasanah. banyak sekali amalan yang
mereka nilai sebagai bid’ah hasanah, seperti adzan didepan khotib saat sholat
jum’at, membaca sholawat setelah adzan, membaca tasbih sebelum fajar. Untuk
lebih jelasnya silahkan baca artikel saya berjudul Inilah
Ahlu Bid'ah Versi Wahabi http://goleksuwargo.blogspot.com/2013/07/inilah-ahlu-bidah-versi-wahabi.html
Pada dasarnya wahabi juga menerima konsep bid’ah hasanah hanya saja mereka
tidak menamakannya sebagai bid’ah hasanah melainkan maslahah murasalah. Dalam kitab AL-Maulid juz 1 hlm 37, Samir Al-Wahabi mengatakan:
والمصلحة المرسلة هي مما اقتضته أدلة الشرع ، مما لم ينص على عينه ،
لكنه يندرج تحت تلك النصوص.
“Maslahah
mursalah adalah sesuatu yang dikandung oleh dalil syari’at yakni sesuatu yang
tidak memiliki nas (dalil) atas bentuknya tetapi ia masuk dalam naungan nas
tersebut.”
Penamaan
bid’ah hasanah sebagai maslahah mursalah semakin jelas jika kita mau melihat
Fatwa Abdur Razaq Al-Afifi Al-Wahabi dalam
kitab Fatawa Abdur Rozaq Al-Afifi pada soal ke enam Juz 1 hlm 310:
س6: سئل الشيخ : هل هناك بدعة حسنة ؟
فقال الشيخ - رحمه الله - : ليس هناك بدعة حسنة وما يسمونه بدعة حسنة هو من
المصالح المرسلة .
Soal ke 6: Syekh di Tanya, apakah
ada bid’ah hasanah? Kemudian syekh menjawab: Bid’ah hasanah tidak ada. Apa yang
mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.
Perhatikan kalimat “Apa yang
mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.”
Kalimat ini jelas menunjukan bahwa sebenarnya wahabi mengakui adanya bid’ah
hasanah. Hanya saja mereka tidak menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, melainkan
maslahah mursalah. Jadi permasalahan yang sebenarnya tidak terletak pada bid’ah
hasanahnya, melainkan pada penamaannya.
Dengan demikian, jika wahabi
menolak bid’ah hasanah, maka sama saja mereka menolak maslahah mursalah. Sebab,
bid’ah hasanah dan maslahah mursalah sama-sama amalan yang tidak ada dalil
secara shorih yang masuk dalam naungan syariat yang tidak bertentangan dengan
quran, hadits, dan ijma’.
Ana setuju akhi. Ana mendapat pencerahan dari antum.
ReplyDeleteBetul bagus
ReplyDeleteWahabi terlalu kaku kolot
ReplyDelete