Saturday 27 July 2013

Mafahim Konsep Bid'ah Hasanah


Berawal dari hadits “Kullu Bid’ah Dholalah”, dengan beringasnya wahabi menyesatkan amalan-amalan yang tidak sejalan dengan faham mereka. Mereka selalu saja menanyakan “mana dalilnya?” Jika tidak ada contoh dari Nabi dan sahabat maka akan diklaim sebagai amalan yang bid’ah dan sesat.

Setelah saya amati masalah ini, saya mengambil kesimpulan bahwa antara wahabi dan ahlu sunah memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dalam memahami bid’ah.

Persamaannya adalah keduanya sama-sama berpendapat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari nabi dan sahabat, maka disebut amalan bid’ah. Sementara perbedaannya adalah apakah setiap bid’ah itu dholalah? ataukah ada bid’ah yang hasanah?

Menurut wahabi semua bid’ah adalah dholalah. Menurut ahlu sunah tidak semua bid’ah dholalah. Ada sebagian bid’ah yang hasanah. Jika kita cermat, sebenarnya perbedaan tersebut disebabkan oleh bagaimana cara memahami bid’ah itu sendiri.

Wahabi memahami bid’ah dari satu sisi. Mereka hanya melihat teks hadits, Sementara ahlu sunah memahami bid’ah melalui dua sisi, yakni teks hadits dan konteks bid’ah. Yang dimaksud teks hadits disini adalah kalimat Kullu bid’ah dholalah. Sedangkan yang dimaksud konteks bid’ah adalah amalan bid’ah itu sendiri.

Salah satu amalan yang diklaim sebagai amalan bid’ah adalah tahlilan. Ahlu sunah dan wahabi sepakat bahwa tahlilan adalah amalan bid’ah. Alasannya pun sama, sebab Nabi dan sahabat tidak ada yang melakukan amalan tersebut. Perbedaannya apakah tahlilan merupakan amalan yang sesat ataukah tidak?

Dalam hal ini wahabi memahami hadits secara tekstual. Mereka hanya melihat kalimat kullu bid’ah dholalah, tanpa melihat bagaimana isi amalan tersebut. Sehingga mereka mengatakan bahwa tahlilan adalah amalan yang sesat.

Lain dengan ahlu sunah. Setelah melihat teks hadits dan mengatakan bahwa tahlilan adalah amalan bid’ah, selanjutnya mereka melihat isi amalan tersebut. Tahlilan adalah sebuah kegiatan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh) yang ditutup dengan do’a.

Oleh karena isi dari amalan tersebut bagus maka ahlu sunah mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah hasanah. disebut bid’ah karena amalan tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi dan sahabat. Disebut hasanah karena amalan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, dan Ijma’.

Dapat disimpulkan bahwa bid’ah hasanah adalah setiap amalan yang tidak dicontohkan oleh Nabi dan Sahabat serta tidak bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan ijma’.

Dalam kitab Al-Barohin Ala ala Bid’ah hasanah Fiddin, juz 1 hlm 14, Abi Mu’adz Assalafi Al-Wahabi, mencoba menolak konsep bid’ah hasanah dengan membuat menukil ilustrasi dialog dalam kitab Syuyukhul Azhar Waziyadah Fiddin karya Abdulloh Al-Wahabi. Dalam ilustrasi itu seolah-olah Abdulloh Al-Wahabi berdialog dengan salah satu Syekh Al-Azhar.

Dalam dialog ia mengajukan pertanyaan “Apa yang membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah?” Selanjutnya ia membuat jawaban yang ia nisbatkan kepada ulama al-azhar, begini: “bid’ah hasanah adalah yang diperbolehkan agama sedangkan bid’ah qobihah adalah yang dilarang oleh agama.”

Tanggapan saya:

Sayang sekali anda tidak menyebutkan nama Syekh Al-Azhar tersebut. Dengan demikian kisah tersebut termasuk kisah majhul. Sebab terdapat tokoh yang tidak diketahui namanya.

Saya kira jawaban yang dinisbatkan oleh Abdulloh Al-wahabi kepada Syekh Al-Azahar hanya merupakan hasil hayalannya belaka. Sebab mustahil seorang syekh Al-Azhar memberi jawaban seperti itu. Seandainya Abdulloh Al-Wahabi benar-benar pernah berdialog dengan Syekh Al-Azhar dan mengajukan pertanyaan “Apa yang membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah?” Niscaya Syekh Al-Azhar itu akan menjawab sebagaimana jawaban Imam Syafi’i, bahwa untuk membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah adalah dengan melihat apakah bid’ah tersebut bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan Ijma’ ataukah tidak.

Bid’ah yang bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ disebut bid’ah qobihah. Sedangkan bid’ah yang tidak bertentangan dengan ketiganya disebut bid’ah hasanah. Jadi konsep bid’ah hasanah sangat jelas. Bid’ah hasanah adalah bid’ah yang tidak bertentangan dengan Qur’an, Hadits dan Ijma’.

Ibn Taimiyah dalam majmu’ Fatawi menukil kalam Imam Syafi’I kemudian menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah. Kata Ibn Taimiyah:

ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة. (إبن تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )

Perhatikan kalimat: “وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة (bid’ah yang tidak bertentangan dengan kitab, (Al-Qur’an), sunah, ijma’ dan atsar, bid’ah tersebut adalah bid’ah حسنة  (hasanah). Jadi Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.

Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, juz 4 hlm 253 mengatakan:

وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ. (الحافظ ابن حجر، فتح الباري، 4/253).

“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”

Badruddin Al-Aini dalam kitab Umdatul Qori’ Syarah Shohih Bukhori, Juz 10 hlm 297 mengatakan:

والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله وهي عل قسمين بدعة ضلالة وهي التي ذكرنا وبدعة حسنة وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع

Secara bahasa bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh terdahulu. Sedangkan bid’ah secara syariat adalah membuat suatu perbuatan yang tidak ada asalnya dimasa Rosululloh SAW.
Bid’ah terbagi menjadi dua: (1). Bid’ah dholalah, yaitu bid’ah yang telah kami jelaskan. (2). Bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang dilihat bagus oleh orang beriman dan tidak bertentangan dengan al-kitab (Quran) atau sunah (hadits), Atsar dan ijma’.

Badruddin Al-Aini dalam kitab Umdatul Qori’ Syarah Shohih Bukhori, Juz 10 hlm 297 mengatakan:

والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله وهي عل قسمين بدعة ضلالة وهي التي ذكرنا وبدعة حسنة وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع

Secara bahasa bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh terdahulu. Sedangkan bid’ah secara syariat adalah membuat suatu perbuatan yang tidak ada asalnya dimasa Rosululloh SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua: (1). Bid’ah dholalah, yaitu bid’ah yang telah kami jelaskan. (2). Bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang dilihat bagus oleh orang beriman dan tidak bertentangan dengan al-kitab (Quran) atau sunah (hadits), Atsar dan ijma’.

Para ulama dari 4 madzhab juga menilai berbagai amalan bid’ah hasanah. Seperti mauled nabi, pembacaan sholawat setelah adzan, tasbih dan dzikir sebelum fajar dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca artikel saya Inilah Ahlu Bid'ah Versi Wahabi

Pada dasarnya wahabi juga menerima konsep bid’ah hasanah hanya saja mereka tidak menamakannya sebagai bid’ah hasanah melainkan maslahah murasalah. Dalam kitab AL-Maulid juz 1 hlm 37, Samir Al-Wahabi mengatakan:

والمصلحة المرسلة هي مما اقتضته أدلة الشرع ، مما لم ينص على عينه ، لكنه يندرج تحت تلك النصوص.
“Maslahah mursalah adalah sesuatu yang dikandung oleh dalil syari’at yakni sesuatu yang tidak memiliki nas (dalil) atas bentuknya tetapi ia masuk dalam naungan nas tersebut.”

Penamaan bid’ah hasanah sebagai maslahah mursalah semakin jelas jika kita mau melihat Fatwa Abdur Razaq Al-Afifi Al-Wahabi  dalam kitab Fatawa Abdur Rozaq Al-Afifi pada soal ke enam Juz 1 hlm 310:

س6: سئل الشيخ : هل هناك بدعة حسنة ؟
فقال الشيخ - رحمه الله - : ليس هناك بدعة حسنة وما يسمونه بدعة حسنة هو من المصالح المرسلة .

Soal ke 6: Syekh di Tanya, apakah ada bid’ah hasanah? Kemudian syekh menjawab: Bid’ah hasanah tidak ada. Apa yang mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.

Perhatikan kalimat “Apa yang mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.” Kalimat ini jelas menunjukan bahwa sebenarnya wahabi mengakui adanya bid’ah hasanah. Hanya saja mereka tidak menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, melainkan maslahah mursalah. Jadi permasalahan yang sebenarnya tidak terletak pada bid’ah hasanahnya, melainkan pada penamaannya.

Dengan demikian, jika wahabi menolak bid’ah hasanah, maka sama saja mereka menolak maslahah mursalah. Sebab, bid’ah hasanah dan maslahah mursalah sama-sama amalan yang tidak ada dalil secara shorih yang masuk dalam naungan syariat yang tidak bertentangan dengan quran, hadits, dan ijma’.

1 comment:



 
Support : Qosim Ibn Aly | Islamic Defenders Community
Copyright © 2013. Golek Surgo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Aliy Faizal
Proudly powered by Blogger