Sunday 19 May 2013

Fitnah Firanda Atas Madzhab Asy'ari

Saya teringat ucapan guru saya, KH. Thoifur Mawardi; murid DR. Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani. Kata guru saya: “Seseorang akan memusuhi apa yang tidak ia ketahui.” Ucapan ini terbukti kebenarannya setelah saya membaca artikel berjudul Al-Hukum Al-Kully (Undang-Undang Kuli mendahulukan akal dari pada dalil) karya Firanda; ustad wahabi yang secara membabi buta menyamakan penggunaan akal yang digunakan oleh ulama Asya’iroh dan yang digunakan oleh Mu’tazilah.

Setelah menyamakan keduanya, Firanda menunjukan pertentangan antara Asy’ari dan mu’tazilah untuk membuktikan bahwa penggunaan akal berakibat kontradiksi sehingga penggunaan akal harus dihindari. Bahkan ia menyebutnya sebagai sesuatu yang bid’ah dan sesat. Untuk lebih jelasnya silahkan baca di http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/323-al-qonun-al-kully-undang-undang-universal-mendahulukan-akal-daripada-dalil

Oleh karena kasus ini berangkat dari ketidak fahaman Firanda terhadap Madzhab Asy’ari maka ada baiknya kita jelaskan dulu siapa Asy’ari sebenarnya?

1. Madzhab Asy’ari.

Madzhab Asy’ari adalah madzhab teologi yang dinisbatkan kepada pendirinya, yakni Abu Hasan Al-Asy’ari. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas umat islam dari sejak dulu hingga sekarang. (Ust. Idrus Romli, Madzhab Asy’ari, hlm 1 Khalista cet. 1 April 2009) Semua pengamat bidang teologi sepakat bahwa madzhab Asy’ari merupakan satu-satunya madzhab yang mewakili ahlu sunah waljama’ah. Kemunculannya adalah sebagai reaksi atas Mu’tazilah yang memosisikan akal di atas nas Qur’an dan Hadits juga untuk membantu Madzhab Hanbali yang mengesampingkan akal. (Muhammad Abu Zahro’, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Edisi terjemahan, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, hlm. 189-190, Jakarta, Logos)

Saat itu para pengikut Imam Ahmad berjuang mempertahankan aqidah ahlu sunah untuk melawan pemikiran mu’tazilah. Para pengikut Imam Ahmad berpegang teguh dengan nas Qura’an dan Hadits tanpa memberi ruang pada akal. Sementara mu’tazilah berpegang teguh dengan akal. Sehingga nas apapun yang tidak sesuai dengan akal, harus di tolak. Melihat keadaan ini -setelah keluar dari mu’tazilah- Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menggunakan dalil aqli untuk membantah pendapat mu’tazilah. Dengan begitu nas Al-Qur’an, Hadits, pendapat sahabat, tabi’in, ahli hadits dan pendapat Imam Ahmad dapat dipertahankan. (Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teori Rasional Mu’tazilah, hlm. 5, Jakarta, UI-press, cet 1).

Maka wajar jika dalam Ibanah, Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa pendapatnya mengikuti al-quran, al-hadits, ucapan sahabat, tabi’in dan imam hadits, juga pendapat Imam Ahmad. Kata beliau:
 قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها، التمسك بكتاب الله ربنا عز وجل، وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل .

Pendapat yang kami katakan dan pandangan hidup yang kami ikuti adalah berpegang dengan kitabulloh (Al-Qur’an), sunah Nabi Muhammad SAW (Al-Hadits),  riwayat dari para pembesar sahabat dan tabi’in serta para imam hadits. Kami berpegang teguh dengan semua itu, dan kami juga berpegang pada pendapat Abu Abdulloh, Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal. (Abu Hasan, Ibanah, hlm.5)

Metode yang dijalankan madzhab Asy’ari ternyata mendapatkan penilaian positif dari Ibn Taimiyah. Sehingga ia menyebut ulama asya’iroh sebagai penolong ushuluddin. Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki dalam mafahim menukil ucapan Ibn Taimiyah, salah satu panutan wahabi, sebagaimana yang termaktub dalam kitab fatawi juz 4 hlm 16. 

Kata Ibn Taimiyah:
والعلماء أنصار علوم الدين والأشاعرة أنصار أصول الدين
“Ulama adalah penolong ilmu agama sedangkan asya’iroh adalah penolong ushuluddin.” (Mafahim Yajibu An Tushohah, hlm 119)

Meskipun Firanda begitu anti terhadap penggunaan akal, namun pada kenyataannya dia juga menggunakan akal saat mengomentari ucapan Ar-rozi. Firanda membuat analog tentang tukang becak dan dokter. Bukankah analog hanya bisa disusun dari penalaran akal? Firanda membuat analog berarti ia menggunakan akal. Firanda melarang orang menggunakan akal tetapi ia sendiri menggunakan akal. Paradoks.

Firanda menyalahkan para ulama yang menggunakan akal untuk membela nas Al-Qur’an dan Hadits akan tetapi Firanda menggunakan akal untuk menyalahkan ulama-ulama tersebut. Firanda menggunakan akal untuk menyalahkan para pembela ushuluddin. Sedangkan ulama asya’iroh menggunakan akal untuk membela ushuluddin dengan cara mentakwilkan ayat dan riwayat yang secara zhohirnya menyerupakan Alloh dengan mahluk. Jadi siapa yang sesat? Jawab Wahai Firanda!!!

2. Penggunaan Akal Menurut AL-Qur’an.

Satu hal yang menjadi kesepakatan saya dan Firanda adalah bahwa dalam beragama kita harus berpegang teguh pada nas Qur’an dan Hadits. Perbedaannya adalah dalam penggunaan akal. Menurut Firanda dalam beragama sama sekali tidak boleh menggunakan akal. Namun bagaimana jika Al-Quran sendiri yang memerintah kita untuk menggunakan akal? Apakah kita tidak boleh mengamalkan perintah tersebut?

Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyinggung masalah akal. Kita diperintah untuk memahami Al-Quran menggunakan akal. Sebagai contoh adalah Az-Zukhruf: 3
إنا جعلناه قرأنا عربيا لعلكم تعقلون
Artinya:“Sesunggauhnya kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa arab supaya kamu memahaminya.”

Hal senada juga disinggung dalam Al-Baqoroh: 73, 76, 242, Ali Imron: 65, 118, Al-An’am: 32, 151, Al-A’rof: 169, Yusuf:2,  Al-Anbiya’: 10, 67, Al-Mu’minun: 80, Annur: 61, Asy-Syu’aro’: 28, Al-Qoshosh: 60, Yasin: 62 dan lain-lain.
Al-Qur’an memerintahkan kita untuk menggunakan akal. Namun Firanda malah melarang menggunakan akal bahkan membid’ahkan dan menyesatkan penggunaannya. Siapa yang bid’ah dan sesat? Al-Qur’an ataukah Firanda?

Yang sesat dan ahli neraka adalah orang yang tidak menggunakan akalnya sebagaimana yang disinyalir dalam Al-Quran surat Al-Mulk: 10
وقالوا لو كنا نسمع أو نعقل ما كنا فى أصحاب السعير
Artinya: “Sekiranya kami mendengarkan dan menggunakan akal niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.”

3Penggunaan Akal Dalam Madzhab Asy’ari.
                                                            
Al-Mulk: 10 menjelaskan bahwa orang yang tidak mendengarkan dan tidak menggunakan akalnya untuk memahami apa yang ia dengar adalah ahli neraka.  Mafhum Mukholafahnya, jika ada orang yang mendengarkan kemudian memahaminya menggunakan akal, maka ia akan selamat.

Wahabi seperti Aliran Hasyawiyah yang hanya mendengarkan tanpa memahami menggunakan akal. Sehingga ketika ada orang yang memahami teks dalil menggunakan akal, langsung mereka klaim sebagai aliran sesat. Sebaliknya, syiah 12 seperti mu’tazilah yang hanya menggunakan akal. Sedangkan ulama Asy’ariyah mencoba menjembatani keduanya dengan cara menggabungkan dua metode itu. Mereka menggabungkan antara apa yang mereka dengar (Al-Qur’an, Hadits, Pendapat sahabat, tabi’in, muhadits serta pendapat Imam Ahmad) dan akal. Dengan kata lain mereka menggunakan akal untuk memahami apa yang mereka dengar.

Mengenai hal ini, salah satu Ulama Asya’iroh, hujatul islam Imam Ghozali berkata: “Kaum Hasyawiyah berasumsi wajibnya beku terhadap taklid dan mengikuti makna-makna literal. Hal itu bersumber dari nalar mereka yang lemah dan wawasan mereka yang sedikit. Sedangkan kaum filosof dan mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menggunakan akal sehingga berlawanan dengan dalil-dalil syara’ yang qoth’i.
Kelompok pertama cendrung ekstrim sedangkan kelompok kedua cendrung sembrono. Keduanya jauh dari sikap yang bijaksana dan berhati-hati. Justru yang menjadi kaidah keyakinan adalah sikap moderat dan mengikuti jalan yang lurus.

Orang yang merasa puas dengan hanya bertaklid kepada teks-teks hadits namun mengingkari metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran. Sebab syara’ bersandar terhadap sabda Nabi SAW sedangkan argumentasi rasional adalah satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran sabda Nabi SAW dalam apa yang beliau sampaikan. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak mengikuti petunjuk cahaya syara’, juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju kebenaran. Sebab ia hanya berpegang pada akal yang diliputi oleh kelemahan dan keterbatasan.” (Abu Hamid Al-Ghozali, Al-Iqtishod Fil I’tiqod, hlm. 21 edisi muwafaq Fauzi Al-Jabr, dengan disederhanakan).

Walhasil penggunaan akal dalam madzhab asy’ari adalah untuk memahami teks al-qur’an atau hadits sebagaimana yang diperintahkan oleh al-qur’an. Namun kecupetan dan kekerdilan pemikiran Firanda –sebab ia tidak bisa menggunakan akalnya- tidak mampu memahami penggunaan akal dalam madzhab asy’ari. Dengan berdasarkan kecupetan berfikir ini, ia memfitnah madzhab asy’ari lebih mendahulukan akal ketimbang dalil. Maha Suci Engkau Ya Alloh, ucapan Firanda adalah kedustaan yang sangat besar.

No comments:

Post a Comment



 
Support : Qosim Ibn Aly | Islamic Defenders Community
Copyright © 2013. Golek Surgo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Aliy Faizal
Proudly powered by Blogger