Saturday 27 July 2013

Mafahim Yang Harus Di Luruskan



Di awal artikel yang berjudul semua bid’ah adalah sesat, DR. Firanda menulis: "Semua bid'ah adalah kesesatan", demikianlah kaidah yang merupakan wahyu dari Allah yang telah dilafalkan oleh Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa sallam-.  (HR Muslim no 2042) Silahkan anda cek di web miliknya http://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/92-semua-bidah-adalah-kesesatan

Tanggapan saya:

Sebelum membahas masalah ini, pertama-tama saya tegaskan bahwa sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur'an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid'ah adalah kesesatan (HR. Muslim, no 2042)

Artikel saya bukan untuk menentang hadits tersebut melainkan untuk membantah pemahaman DR. Firanda. Bantahan ini saya tulis karena dalam memahami hadits tersebut, ulama ahlu sunah waljama’ah membagi bid’ah menjadi dua. Tidak seperti DR. Firanda yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.

Pernyataan tersebut bersumber dari pemahaman ulama mereka, yakni Utsaimin. Dalam kitab Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’I Wa Khothoril Ibda’, dia berkata:

قوله (كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلي أقسام ثلاثة او إلي أقسام خمسة؟ أبدا هذا لايصح . (محمد بن صالح العثيمن, الإبداع في كمال الشرع وخطر الإبتداع  ص 13 )

Artinya: “Sabda Nabi (Semua bid’ah sesat) bersifat global, umum, menyeluruh dan dipagari menggunakan perabot yang paling kuat yaitu “kullu” (seluruh). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah sah.”

Intinya, -bagi wahabi- bid’ah tidak boleh dibagi. Semua bid’ah adalah sesat. Namun anehnya dalam kitab lain, Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah dunia dan bid’ah agama. Katanya:

الأصل في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا أن يدل الدليل علي تحريمه لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته (العثيمين شرح العقيدة الواسطية ص 639-640 )

Artinya: “Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia-red) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecualai ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.”

Perhatikan kalimat “Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia”. Kalimat ini menunjukan bid’ah dunia. Selanjutnya kalimat “Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan agama”. Kalimat ini menunjukan bid’ah agama. Aneh kan? Kalau bid’ah tidak boleh dibagi, mengapa wahabi nekat membaginya menjadi dua?

Jika pertanyaan itu kita ajukan kepada wahabi, maka mereka akan menjawab begini: “Yang boleh dibagi hanya bid’ah dunia. Sementara bid’ah agama tidak boleh dibagi. Dalam masalah agama, Rosululloh SAW tidak pernah mengatakan adanya bid’ah yang hasanah.”

Sebenarnya jawaban tersebut terlalu dipaksakan. Jika alasannya Rosululloh SAW tidak pernah menyebut bid’ah hasanah, seharusnya wahabi juga tidak membagi bid’ah menjadi bid’ah dunia dan bid’ah agama. Sebab, Rosululloh SAW juga tidak pernah membagi bid’ah menjadi bid’ah dunia dan bid’ah agama.

Untuk mengatasi masalah tersebut, wahabi akan mengajukan dalil berupa hadits bahwa Rosululloh SAW bersabda: “Antum a’lamu biddunyakum” (Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Berdasarkan hadits ini, wahabi bilang bahwa bid’ah dunia tidak apa-apa. Tapi bid’ah agama tidak boleh. Dalam masalah agama tidak ada yang namanya bid’ah hasanah.

Namun pada kenyataannya, wahabi tidak mampu menghindar dari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Ketika membahas masalah bid’ah agama, Utsaimin berkata:

لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته (العثيمين شرح العقيدة الواسطية ص 639-640 )

Artinya: “Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecualai ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.” (Al-Utsaimin, Al-Aqidah Al-Wasathiyah, hlm. 639-640).

Perhatikan kalimat “hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang.” Kalimat ini menunjukan bahwa bid’ah dalam agama adalah jelek. Dalam bahasa arab jelek disebut sayyi’ah. Dengan demikian bid’ah dalam agama yang tidak sesuai dengan al-kitab dan as-sunah adalah bid’ah sayyi’ah.

Perhatikan kalimat “kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.” Kalimat ini menunjukan adanya bid’ah dalam agama yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunah. Sesuatu yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunah menunjukan bahwa ia adalah hal yang baik. Dalam bahasa arab sesuatu yang baik disebut hasanah. Dengan demikian bid’ah dalam agama yang sesuai dengan al-kitab dan as-sunah adalah bid’ah hasanah.

Adanya bid’ah hasanah juga diakui oleh salah satu ulama yang dibanggakan oleh wahabi, yaitu Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Dalam majmu’ Fatawi ia menukil kalam Imam Syafi’I kemudian menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah. Kata beliau:

قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة (إبن تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )

Artinya:  Imam Syafi’I berkata: “Bid’ah ada dua. (Pertama), bid’ah yang bertentangan dengan kitab (Qur-an), sunah (Hadits), ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rosululloh SAW maka ini adalah bid’ah yang sesat. (Kedua), bid’ah yang tidak bertentangan dengan semua itu, maka bid’ah ini terkadang hasanah (Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawi, Juz 20, hlm 127).

Perhatikan kalimat: “وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة لقول (bid’ah yang tidak bertentangan dengan kitab, (Al-Qur’an), sunah, ijma’ dan atsar, bid’ah tersebut adalah bid’ah حسنة  (hasanah). Jadi, Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.

Jika kita ajukan pendapat Ibn Taimiyyah tersebut, maka wahabi akan mengelak dan berkata begini: “Perkataan Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang merujuk pada perkataan Umar Ra, tidaklah bisa langsung anda fahami berarti dengan ini boleh mengadakan bid’ah. Karena beliau tidak juga memutlakan. Beliau berkata terkadang bisa menjadi suatu kebaikan… dst. Artinya terkadang juga tidak baik ketika perbuatan tersebut tidak didasari hal yang di syari’atkan.”

Intinya, menurut wahabi, yang dimaksud bid’ah hasanah oleh Syaikhul Islam adalah menghidupkan kembali sunah yang telah ditinggalkan. Seperti sholat terawih. Sholat terawih pernah dilakukan oleh Nabi SAW namun selanjutnya ditinggalkan.

Ketika Umar RA menjadi kholifah, beliau menghidupkannya kembali. Ini yang dimaksud bid’ah hasanah oleh Syekhul Islam. Jadi bukan berarti beliau memperbolehkan mengadakan amalan bid’ah yang tidak ada dijaman Nabi SAW. Begitu kata wahabi.

Sebenarnya pemahaman wahabi sangat lucu. Bagaimana bisa amalan yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW disebut bid’ah? Bukankah setiap ucapan dan perbuatan beliau adalah sunah? Lalu mengapa sholat terawih yang pernah dilakukan oleh beliau, disebut bid’ah hasanah?

Pemahaman wahabi semakin tampak kacau manakala kita lihat fakta bahwa Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah menciptakan amalan bid’ah. Bid’ah ciptaan beliau adalah cara dan waktu dzikir yang menjadi rutinitasnya sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu muridnya, Umar Bin Ali Al-Bazar, sebagai berikut:

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).

Inti dari kisah tersebut adalah setiap selesai sholat shubuh, Ibn Taimiyah berdzikir secara jama’ah. Kebiasaan Ibn Taimiyyah telah maklum. Ia sulit diajak bicara setelah sholat subuh kecuali terpaksa.

Perhatikan kalimat:
مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ
Artinya: “Di tengah-tengah dzikir itu, Ibn Taimiyyah seringkali menatapkan pandangannya ke langit.”

Perhatikan kalimat:
هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا

Artinta: “Seperti inilah kebiasaan Ibn Taimiyah; membaca Fatihah dan mengulang-ulangnya dari fajar hingga matahari naik.”

Apakah Rosululloh SAW pernah melakukan hal itu? membaca fatihah secara berulang-ulang dari setelah sholat shubuh hingga matahari naik? Jika iya, silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak, berarti itu merupakan bid’ah yang diciptakan oleh Syaikhul Islam.

Oleh karena itu, jika ucapan Ibn taimiyyah tentang adanya bid’ah hasanah dipahami sebagai menghidupkan sunah yang telah lama ditinggalkan seperti yang dipahami oleh wahabi, maka mau tidak mau wahabi harus menyebut beliau sebagai ahli bid’ah yang sesat. Sebab beliau melakukan amalan yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW.

Walhasil, dalam memahami bid’ah, wahabi melakukan tiga kesalahan fatal yang menunjukan kerancuan manhaj wahabi.

Pertama, wahabi melarang pembagian bid’ah. Tetapi justru mereka sendiri yang membagi bid’ah menjadi bid’ah dunia dan bid’ah agama.

Kedua, wahabi melarang penyebutan bid’ah hasanah dalam urusan agama. Tetapi justru mereka sendiri yang menyebut adanya bid’ah hasanah dalam urusan agama.

Ketiga, wahabi melarang membuat amalan bid’ah sekalipun amalan tersebut baik. Tetapi justru ulama wahabi sendiri yang membuat amalan bid’ah.

Konsep Bid’ah Hasanah Versi Ahlu Sunah.

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Kata beliau:

الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلَالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ.(الحافظ البيهقي, مناقب الإمام الشافعي, 1/469)

Artinya: “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (al-Baihaqi, Manaqib al-syafi’i, 1/469).


Ulama dari 4 madzhab juga mengakui adanya bid’ah hasanah. banyak sekali amalan yang mereka nilai sebagai bid’ah hasanah, seperti adzan didepan khotib saat sholat jum’at, membaca sholawat setelah adzan, membaca tasbih sebelum fajar. Untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel saya berjudul Inilah Ahlu Bid'ah Versi Wahabi  http://goleksuwargo.blogspot.com/2013/07/inilah-ahlu-bidah-versi-wahabi.html


Pada dasarnya wahabi juga menerima konsep bid’ah hasanah hanya saja mereka tidak menamakannya sebagai bid’ah hasanah melainkan maslahah murasalah. Dalam kitab AL-Maulid juz 1 hlm 37, Samir Al-Wahabi mengatakan:

والمصلحة المرسلة هي مما اقتضته أدلة الشرع ، مما لم ينص على عينه ، لكنه يندرج تحت تلك النصوص.
“Maslahah mursalah adalah sesuatu yang dikandung oleh dalil syari’at yakni sesuatu yang tidak memiliki nas (dalil) atas bentuknya tetapi ia masuk dalam naungan nas tersebut.”

Penamaan bid’ah hasanah sebagai maslahah mursalah semakin jelas jika kita mau melihat Fatwa Abdur Razaq Al-Afifi Al-Wahabi  dalam kitab Fatawa Abdur Rozaq Al-Afifi pada soal ke enam Juz 1 hlm 310:
س6: سئل الشيخ : هل هناك بدعة حسنة ؟
فقال الشيخ - رحمه الله - : ليس هناك بدعة حسنة وما يسمونه بدعة حسنة هو من المصالح المرسلة .

Soal ke 6: Syekh di Tanya, apakah ada bid’ah hasanah? Kemudian syekh menjawab: Bid’ah hasanah tidak ada. Apa yang mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.

Perhatikan kalimat “Apa yang mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.” Kalimat ini jelas menunjukan bahwa sebenarnya wahabi mengakui adanya bid’ah hasanah. Hanya saja mereka tidak menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, melainkan maslahah mursalah. Jadi permasalahan yang sebenarnya tidak terletak pada bid’ah hasanahnya, melainkan pada penamaannya.

Dengan demikian, jika wahabi menolak bid’ah hasanah, maka sama saja mereka menolak maslahah mursalah. Sebab, bid’ah hasanah dan maslahah mursalah sama-sama amalan yang tidak ada dalil secara shorih yang masuk dalam naungan syariat yang tidak bertentangan dengan quran, hadits, dan ijma’.

3 comments:



 
Support : Qosim Ibn Aly | Islamic Defenders Community
Copyright © 2013. Golek Surgo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Aliy Faizal
Proudly powered by Blogger