Berawal dari
hadits “Kullu Bid’ah Dholalah”, dengan beringasnya wahabi menyesatkan
amalan-amalan yang tidak sejalan dengan faham mereka. Mereka selalu saja
menanyakan “mana dalilnya?” Jika tidak ada contoh dari Nabi dan sahabat maka
akan diklaim sebagai amalan yang bid’ah dan sesat.
Setelah saya
amati masalah ini, saya mengambil kesimpulan bahwa antara wahabi dan ahlu sunah
memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dalam memahami bid’ah.
Persamaannya
adalah keduanya sama-sama berpendapat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari
nabi dan sahabat, maka disebut amalan bid’ah. Sementara perbedaannya adalah
apakah setiap bid’ah itu dholalah? ataukah ada bid’ah yang hasanah?
Menurut wahabi
semua bid’ah adalah dholalah. Menurut ahlu sunah tidak semua bid’ah dholalah. Ada
sebagian bid’ah yang hasanah. Jika kita cermat, sebenarnya perbedaan tersebut
disebabkan oleh bagaimana cara memahami bid’ah itu sendiri.
Wahabi memahami
bid’ah dari satu sisi. Mereka hanya melihat teks hadits, Sementara ahlu sunah
memahami bid’ah melalui dua sisi, yakni teks hadits dan konteks bid’ah. Yang
dimaksud teks hadits disini adalah kalimat Kullu bid’ah dholalah. Sedangkan
yang dimaksud konteks bid’ah adalah amalan bid’ah itu sendiri.
Salah satu
amalan yang diklaim sebagai amalan bid’ah adalah tahlilan. Ahlu sunah dan
wahabi sepakat bahwa tahlilan adalah amalan bid’ah. Alasannya pun sama, sebab
Nabi dan sahabat tidak ada yang melakukan amalan tersebut. Perbedaannya apakah
tahlilan merupakan amalan yang sesat ataukah tidak?
Dalam hal ini
wahabi memahami hadits secara tekstual. Mereka hanya melihat kalimat kullu
bid’ah dholalah, tanpa melihat bagaimana isi amalan tersebut. Sehingga mereka
mengatakan bahwa tahlilan adalah amalan yang sesat.
Lain dengan
ahlu sunah. Setelah melihat teks hadits dan mengatakan bahwa tahlilan adalah
amalan bid’ah, selanjutnya mereka melihat isi amalan tersebut. Tahlilan adalah
sebuah kegiatan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat
al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa
Ilaha Illalloh) yang ditutup dengan do’a.
Oleh karena isi
dari amalan tersebut bagus maka ahlu sunah mengatakan bahwa tahlilan adalah
bid’ah hasanah. disebut bid’ah karena amalan tersebut tidak dicontohkan oleh
Nabi dan sahabat. Disebut hasanah karena amalan tersebut tidak bertentangan
dengan Al-Quran, Hadits, dan Ijma’.
Dapat
disimpulkan bahwa bid’ah hasanah adalah setiap amalan yang tidak dicontohkan
oleh Nabi dan Sahabat serta tidak bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan
ijma’.
Dalam kitab
Al-Barohin Ala ala Bid’ah hasanah Fiddin, juz 1 hlm 14, Abi Mu’adz Assalafi
Al-Wahabi, mencoba menolak konsep bid’ah hasanah dengan membuat menukil ilustrasi
dialog dalam kitab Syuyukhul Azhar Waziyadah Fiddin karya Abdulloh Al-Wahabi. Dalam
ilustrasi itu seolah-olah Abdulloh Al-Wahabi berdialog dengan salah satu Syekh
Al-Azhar.
Dalam dialog ia
mengajukan pertanyaan “Apa yang membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah
qobihah?” Selanjutnya ia membuat jawaban yang ia nisbatkan kepada ulama
al-azhar, begini: “bid’ah hasanah adalah yang diperbolehkan agama sedangkan
bid’ah qobihah adalah yang dilarang oleh agama.”
Tanggapan saya:
Sayang sekali
anda tidak menyebutkan nama Syekh Al-Azhar tersebut. Dengan demikian kisah
tersebut termasuk kisah majhul. Sebab terdapat tokoh yang tidak diketahui
namanya.
Saya kira jawaban
yang dinisbatkan oleh Abdulloh Al-wahabi kepada Syekh Al-Azahar hanya merupakan
hasil hayalannya belaka. Sebab mustahil seorang syekh Al-Azhar memberi jawaban
seperti itu. Seandainya
Abdulloh Al-Wahabi benar-benar pernah berdialog dengan Syekh Al-Azhar dan
mengajukan pertanyaan “Apa yang membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah
qobihah?” Niscaya Syekh Al-Azhar itu akan menjawab sebagaimana jawaban Imam
Syafi’i, bahwa untuk membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah adalah
dengan melihat apakah bid’ah tersebut bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan
Ijma’ ataukah tidak.
Bid’ah yang
bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ disebut bid’ah qobihah.
Sedangkan bid’ah yang tidak bertentangan dengan ketiganya disebut bid’ah
hasanah. Jadi konsep bid’ah hasanah sangat jelas. Bid’ah hasanah adalah bid’ah
yang tidak bertentangan dengan Qur’an, Hadits dan Ijma’.
Ibn Taimiyah
dalam majmu’ Fatawi menukil kalam Imam Syafi’I kemudian menyatakan bahwa bid’ah
ada yang hasanah. Kata Ibn Taimiyah:
ومن
هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا به مع العلم
بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه
خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة
وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا
من ذلك وهذه قد تكون حسنة. (إبن
تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )
Perhatikan
kalimat: “وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون
حسنة” (bid’ah yang tidak bertentangan dengan kitab, (Al-Qur’an), sunah,
ijma’ dan atsar, bid’ah tersebut adalah bid’ah حسنة
(hasanah). Jadi Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.
Ibn Hajar dalam
kitab Fath al-Bari, juz 4 hlm 253 mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى
غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ
فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ
تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ
فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
(الحافظ ابن حجر، فتح الباري، 4/253).
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti
contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah,
sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam
naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah.
Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka
disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya,
maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima
hukum.”
Badruddin Al-Aini dalam kitab Umdatul Qori’ Syarah Shohih
Bukhori, Juz 10 hlm 297 mengatakan:
والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في
عهد رسول الله وهي عل قسمين بدعة ضلالة وهي التي ذكرنا وبدعة حسنة وهي ما رآه
المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
Secara
bahasa bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh
terdahulu. Sedangkan bid’ah secara syariat adalah membuat suatu perbuatan yang
tidak ada asalnya dimasa Rosululloh SAW.
Bid’ah
terbagi menjadi dua: (1). Bid’ah dholalah, yaitu bid’ah yang telah kami
jelaskan. (2). Bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang dilihat bagus oleh orang
beriman dan tidak bertentangan dengan al-kitab (Quran) atau sunah (hadits),
Atsar dan ijma’.
Badruddin
Al-Aini dalam kitab Umdatul Qori’ Syarah Shohih Bukhori, Juz 10 hlm 297
mengatakan:
والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في
عهد رسول الله وهي عل قسمين بدعة ضلالة وهي التي ذكرنا وبدعة حسنة وهي ما رآه
المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
Secara
bahasa bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh
terdahulu. Sedangkan bid’ah secara syariat adalah membuat suatu perbuatan yang
tidak ada asalnya dimasa Rosululloh SAW. Bid’ah
terbagi menjadi dua: (1). Bid’ah dholalah, yaitu bid’ah yang telah kami
jelaskan. (2). Bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang dilihat bagus oleh orang
beriman dan tidak bertentangan dengan al-kitab (Quran) atau sunah (hadits),
Atsar dan ijma’.
Para
ulama dari 4 madzhab juga menilai berbagai amalan bid’ah hasanah. Seperti
mauled nabi, pembacaan sholawat setelah adzan, tasbih dan dzikir sebelum fajar
dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca artikel saya Inilah Ahlu Bid'ah Versi Wahabi
Pada dasarnya wahabi juga menerima konsep bid’ah hasanah hanya saja mereka
tidak menamakannya sebagai bid’ah hasanah melainkan maslahah murasalah. Dalam kitab AL-Maulid juz 1 hlm 37, Samir Al-Wahabi mengatakan:
والمصلحة المرسلة هي مما اقتضته أدلة الشرع ، مما لم ينص على عينه ،
لكنه يندرج تحت تلك النصوص.
“Maslahah
mursalah adalah sesuatu yang dikandung oleh dalil syari’at yakni sesuatu yang
tidak memiliki nas (dalil) atas bentuknya tetapi ia masuk dalam naungan nas
tersebut.”
Penamaan
bid’ah hasanah sebagai maslahah mursalah semakin jelas jika kita mau melihat
Fatwa Abdur Razaq Al-Afifi Al-Wahabi dalam
kitab Fatawa Abdur Rozaq Al-Afifi pada soal ke enam Juz 1 hlm 310:
س6: سئل الشيخ : هل هناك بدعة حسنة ؟
فقال الشيخ - رحمه الله - : ليس هناك بدعة حسنة وما يسمونه بدعة حسنة هو من
المصالح المرسلة .
Soal ke 6: Syekh di Tanya, apakah
ada bid’ah hasanah? Kemudian syekh menjawab: Bid’ah hasanah tidak ada. Apa yang
mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.
Perhatikan kalimat “Apa yang
mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.”
Kalimat ini jelas menunjukan bahwa sebenarnya wahabi mengakui adanya bid’ah
hasanah. Hanya saja mereka tidak menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, melainkan
maslahah mursalah. Jadi permasalahan yang sebenarnya tidak terletak pada bid’ah
hasanahnya, melainkan pada penamaannya.
Mantap...
ReplyDelete