Saya
pernah melihat sebuah acara di TV rodja. Dalam acara itu diadakan Tanya jawab.
Salah satu penanya menanyakan prihal penggunaan kalam Umar RA, sebaik-baik
bid’ah adalah ini sebagai dalil bid’ah
hasanah. Saya lupa nama acara dan nara sumbernya. Namun yang jelas saat itu
nara sumber menjawab bahwa ucapan Umar Ra tidak bisa dijadikan sebagai dalil
adanya bid’ah hasanah.
Setelah
memuji Umar Ra sebagai sahabat yang sangat memahami bahasa arab, kemudian ia
mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Umar Ra adalah suasana ramai jama’ah
tarowih. Jadi seolah-olah beliau mengatakan alangkah indahnya ini.
Saya
kira itu merupakan jawaban yang terlalu gegabah. Sebab pada kenyataannya Imam
Syafi’i dan lain-lain menggunakan ucapan Umar Ra sebagai dalil adanya bid’ah
hasanah. Bahkan Ibn Taimiyah pun menukil kalam Imam Syafi’I sebagaimana yang
akan saya nukil nanti, Insya Alloh.
Salafi/wahabi
menganggap bahwa ucapan Umar Ra itu bertentangan dengan sabda Nabi SAW, yakni
kullu bid’ah dholalah. Jika nabi telah menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah
sesat, bagaimana mungkin Umar Ra mengatakan adanya bid’ah hasanah?
Tanggapan
saya:
Sebenarnya
ucapan Umar Ra sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW manakala
kita mau memahaminya dengan baik. Ketahuilah bahwa yang dikomentari oleh Umar
Ra bukanlah jama’ah tarowihnya. Bagaimana mungkin jama’ah tarowih disebut
sebagai bid’ah sedangkan Nabi SAW dan para sahabat pernah melakukannya walaupun
hanya tiga hari.
Nabi
SAW pernah sholat pada malam ramadhan di masjid Nabawi. Kemudian para sahabat
ikut sholat sebagai makmum. Kejadian tersebut berlangsung hingga tiga hari.
Pada hari keempat Rosulluloh SAW tidak sholat dimasjid melainkan di rumah. Hal
ini karena beliau hawatir sholat tarowih secara berjama’ah akan di wajibkan.
Meski
Rosululloh SAW melaksanakan sholat tarowih di rumah namun para sahabat masih
melakukannya. Sebagian ada yang berjama’ah dan sebagian yang lain ada yang
sholat sendiri-sendiri.
Hal
tersebut terus berlangsung hingga jaman Abu Bakar Ra. Ini menunjukan bahwa
sholat tarowih secara jama’ah telah ada dijaman Nabi SAW dan jaman Abu Bakar
Ra. Ketika Umar Ra menjabat sebagai kholifah, beliau memiliki keinginan untuk
menyatukan orang-orang pada satu Imam. Ahirnya rencana tersebut terealisasikan.
Apakah
Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ra pernah memerintah sahabat untuk melaksanakan
tarowih secara berjama’ah? Jawabannya adalah tidak pernah. Sholat tarowih
berjama’ah yang terjadi dijaman Nabi SAW bukan atas printah Nabi. Melainkan
inisiatif para sahabat untuk berjma’ah dengan Nabi.
Oleh
karena Nabi SAW dan Abu Bakar Ra tidak pernah memerintah umat islam untuk
sholat tarowih secara berjama’ah, maka ketika Umar Ra memerintah umat islam
untuk sholat tarowih secara berjama’ah, beliau berkata: sebaik-baik bid’ah
adalah ini.
Jadi
yang beliau sebut bid’ah adalah perintah beliau. Perintah ini disebut bid’ah
sebab Nabi SAW dan Abu Bakar tidak pernah mengeluarkan perintah tersebut. Namun
karena tidak bertentangan dengan kitab dan sunah, maka perintah itu disebut
sebaik-baik bid’ah.
Ini
menjadi alasan mengapa Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua. Bid’ah mahmudah
dan bid’ah madzmumah. Bid’ah yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma’, dan
atsar sebagian sehabat disebut bid’ah madzmumah. Bid’ah ini adalah sesat.
Sedangkan bid’ah yang tidak bertentangan dengan hal-hal itu, maka ini adalah
bid’ah yang terpuji sebab ucapan Umar Ra, sebaik-baik bid’ah adalah ini.
Ada
beberapa komentar yang perlu saya tanggapi atas salafi/wahabi yang menolak
penggunaan kalam Imam Syafi’I sebagai dalil adanya bid’ah hasanah. Mereka
mengatakan bahwa riwayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil adanya
bid’ah hasanah. Alasan yang mereka ajukan adalah pertama, mereka meragukan
keshohihan riwayat tersebut dari Imam Syafi’i. Kedua, ucapan Umar RA tidak
mengarah kepada bid’ah.
Tanggapan
Saya
Pertama,
Mengenai Sanad Riwayat.
Mengenai
keraguan salafi/wahabi terhadap kesohihan riwayat tersebut tidak bisa
dipertanggung jawabkan. Sebab Ibn Taimiyah sebagai salah satu ulama panutan
salafi/wahabi mengatakan bahwa sanad riwayat tersebut shohih. Katanya:
هَذَا الْكَلَامُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ البيهقي بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ
فِي الْمَدْخَلِ (مجموع الفتاوى ج 20 ص 163 )
Ucapan
ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shohih dalam
Mudkhol.
Mari
kita simak teks lengkapnya.
ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا
به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم
يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة
وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك
وهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه . هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده
الصحيح في المدخل .
artinya:
Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang mengada-adakan jalan atau
I’tiqod dan mengira bahwa iman tidaklah sempurna kesuali dengan jalan tersebut
serta mengetahui bahwa Rosul SAW tidak lah menyebutnya dan hal yang
bertentangan dengan Nash maka kaum muslimin sepakat bahwa hal itu merupakan
bid’ah sedangkan sesuatu yang tidak diketahui bahwa ia bertentangan dengan nash
maka terkadang tidak disebut dengan bid’ah.
Imam
Syafi’I berkata: Bid’ah ada dua. (pertama) Bid’ah yang bertentangan dengan
kitab, sunah ijma’ dan astar sebagian sahabat maka ini adalah bid’ah dholalah.
(kedua) Bid’ah yang tidak bertentangan dengan hal itu maka terkadang bagus
sebab ucapan Umar Ra, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Ucapan ini dan yang
semisalnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shohih dalam mudkhol.
(Majmu’Fatawi Juz 20 hlm 163 fersi Syamilah Ishdar Tsani)
Kedua:
Ucapan Umar RA tidak mengarah kepada bid’ah.
Ada
dua komentar yang berbeda dari salafi/wahabi mengenai hal ini. Namun tujuannya
sama, yakni sama-sama menolak adanya bid’ah hasanah. Ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud oleh Umar Ra adalah bid’ah lughowi dan ada juga yang mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah maslahah mursalah. Dari sini kemudian mereka
mengatakan bahwa aswaja telah menyalah gunakan kalam Imam Syafi’i.
Untuk
mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah masalah mursalah, saya kira,
ini merupakan komentar asal nyeplos. Sebab telah sama-sama kita ketahui bahwa
masalahah mursalah dalam pandangan wahabi adalah bid’ah yang berkaitan dengan
masalah dunia Sedangkan ucapan Umar Ra jelas-jelas mengomentari masalah agama.
Mengenai
komentar mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bid’ah lughowi, saya
kira ini hanya merupakan refleksi dari rasa gengsi untuk mengakui adanya bid’ah
hasanah. Artinya penyebutan bid’ah lughowi hanya merupakan usaha untuk
menghindar dari istilah bid’ah hasanah. Apapun itu yang jelas kita semua
sepakat bahwa bid’ah memiliki dua kriteria yaitu bid’ah yang memiliki asal dari
syari’at dan bid’ah yang tidak memiliki asal.
Inilah
kaidah kuliah untuk menilai apakah suatu amalan bid’ah sesat ataukah tidak.
Sebab semua sepakat bahwa bid’ah yang memiliki asal dari syariat, maka boleh
diamalkan. Mereka semua juga sepakat bahwa bid’ah yang tidak memiliki asal,
tidak boleh diamalkan.
Perbedaannya
terletak pada penamaanya. Jika amalan tersebut masuk dalam urusan ibadah, maka wahabi menyebutnya sebagai bid’ah lughowi,
bukan bid’ah syar’i sehingga mereka tidak menamainya sebagai bid’ah. Namun jika
amalan tersebut masuk kategori selain ibadah, maka mereka tidak menamainya
sebagai bid’ah melainkan maslahah mursalah.
Sedangkan
aswaja menamainya sebagai bid’ah hasanah, baik amalan itu masuk kategori ibadah
maupuntidak. Disebut bid’ah karena tidak ada contoh sebelumnya. Disebut hasanah
karena tidak bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’ serta berada dalam
naungan syariat atau dengan kata lain amalan tersebut masuk dalam keumuman
suatu dalil.
No comments:
Post a Comment