Muhammad
Bin Kholifah Al-Wahhabi, dalam kitab Maqolatut Ta’thil 1/25, berkata:
وأما الأشاعرة
المتأخرون ومعهم الماتريدية فهم يثبتون الأسماء وسبعاً من الصفات هي (الحياة،
العلم، القدرة، السمع، البصر، الإرادة، الكلام) ويزيد بعض الماتريدية صفة ثامنة هي
(التكوين) وينفون باقي الصفات ويؤولون النصوص الواردة فيها ويحرفون معانيها
Artinya:
“Adapun asya’iroh generasi akhir serta maturidiyah, mereka menetapkan asma
dan 7 sifat Alloh, yaitu Hayah, Ilm, Qudroh, Sam’, Bashor, Irodah dan Kalam.
Sebagian maturidiyah ada yang menambahkan sifat ke delapan, yaitu Takwin.
Mereka menafikan sifat-sifat lain dan mentakwilnya serta mendistorsi maknanya.”
Tanggapan:
Kalimat
“Mereka menafikan sifat-sifat lain dan mentakwilnya serta mendistorsi maknanya”
menunjukan bahwa dalam hayalan wahhabi ta’wil sama dengan distorsi dan
penafian terhadap sifat yang ditakwili. Namun
wahhabi tidak mampu dan tidak akan pernah mampu menunjukan satupun ucapan ulama
asy’ariyah yang mengatakan bahwa asy’ariyah menolak sifat yang ditakwil.
Realitanya
asy’ariyah tidak menafikan sifat yang dita’wili. Mereka hanya mengalihkan makna
literal sifat Alloh yang secara zohir serupa dengan mahluk tanpa menafikan
keberadaan sifat tersebut. Seandainya mereka menafikan sifat-sifat tersebut,
niscaya mereka tidak akan mentakwilnya.
Mustahil
seseorang akan mentakwil sesuatu yang keberadaannya tidak dipercayai. Buat apa
ditakwil, lha wong keberadaannya saja diingkari kok. Maka ta’wil yang dilakukan
oleh asy’ariyah merupakan bukti bahwa mereka tidak menafikan sifat yang
dita’wil.
Penting
diingat, tujuan dari takwil adalah untuk mensucikan sifat Alloh dari serupa
dengan mahluk. Tujuan ini merupakan konsekwensi logis dari pernyataan Alloh
dalam Asy-Syuro;11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.”
Mungkin
ada wahhabi yang bertanya: Jika memang ta’wil bertujuan untuk mensucikan Alloh
dari keserupaan dengan mahluk, lalu mengapa asy’ariyah tidak mentakwil sifat
bashor (melihat) dan sama’ (mendengar)? Bukankah dua sifat tersebut juga ada
pada mahluk?
Kepadanya
saya katakan: Sifat sama’ dan bashor -meskipun dimiliki oleh mahluk- namun
keduanya bisa dibedakan dengan tanpa ditakwil. Manusia melihat dan mendengar
menggunakan alat. Penglihatan dan pendengaran manusia pun terbatas. Berbeda
dengan penglihatan dan pendengaran Alloh. Alloh melihat dan mendengar tanpa
alat dan tanpa batas.
Untuk
mendengar, manusia memerlukan alat berupa telinga yang terdiri dari beberapa
elemen seperti daun telinga dan gendang telinga. Mereka juga membutuhkan
getaran yang diterima oleh gendang telinga. Frekuensi getaran yang bisa
didengar oleh manusia pun terbatas antara 20 hertz sampai dengan 20.000 hertz. Berbeda dengan pendengaran Alloh. Alloh mendengar tanpa membutuhkan
alat dan tanpa batasan frekuensi getaran.
Untuk
melihat, manusia membutuhkan alat berupa bola mata yang terdiri dari beberapa
elemen seperti bola mata, lensa mata, pupil dan kornea. Mereka juga membutuhkan
cahaya yang diterima oleh lensa mata. Tanpa itu semua, manusia tidak akan bisa
melihat. Berbeda dengan Alloh. Alloh melihat tanpa membutuhkan alat dan cahaya.
Oleh
karena itulah keduanya dan 5 sifat lainnya tidak ditakwil. Sebab, tujuan ta’wil
adalah untuk mensucikan Alloh dari keserupaan dengan mahluk. Ketika sifat Alloh
secara zohir tidak serupa dengan mahluk, maka ta’wil tidak perlu dilakukan. Inilah
alasan asy’ariyah tidak mentakwilnya.
Walhasil,
asy’ariyah sama sekali tidak menafikan sifat Alloh. Sebaliknya mereka menerima
segala apa yang datang dari Alloh dan Rosul Nya. Sayyid Muhammad Bin Alawi
Al-Maliki dalam kitab Minhaju Salaf Fi Fahmin Nusus Bainan Nazhriyah Wattathbiq
Hlm. 20 mengatakan:
وقد
أمنا بما جاء عن الله على مراد الله عز وجل وأمنا بما جاء عن الرسول s
Artinya:
“Sesungguhnya kami beriman terhadap apa yang datang dari Alloh SWT atas apa
yang Dia kehendaki. Kami juga berimana terhadap apa yang datang dari rosul.”
Beriman
pada apa yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya, sama saja menetapkan semua
sifat-sifat Alloh yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, termasuk sifat
Istawa, Nuzul, Wajhulloh, ‘Ainulloh dan lain-lain.
Jika
demikian, berarti titik permasalahannya tidak terletak pada penafian terhadap
sebagian sifat Alloh. Melainkan terletak pada ta’wil. Ini membuktikan bahwa
klaim wahhabi adalah tadlis (pengkaburan-red) terhadap titik masalah dan
merupakan kedustaan dalam menukil suatu pendapat.
Mengapa
kalian melakukan tadlis wahai wahhabiyun? Tidakkah kalian bisa berkata jujur
dalam menukil pendapat dan meletakan titik permasalahan dengan benar?
No comments:
Post a Comment