Saya teringat
ucapan guru saya, KH. Thoifur Mawardi; murid DR. Sayyid Muhammad Bin Alawi
Al-Maliki Al-Hasani. Kata guru saya: “Seseorang akan memusuhi apa yang tidak ia
ketahui.” Ucapan ini terbukti kebenarannya setelah saya membaca artikel
berjudul Al-Hukum Al-Kully (Undang-Undang Kuli mendahulukan akal dari pada
dalil) karya Firanda; ustad wahabi yang secara membabi buta menyamakan
penggunaan akal yang digunakan oleh ulama Asya’iroh dan yang digunakan oleh Mu’tazilah.
Setelah menyamakan
keduanya, Firanda menunjukan pertentangan antara Asy’ari dan mu’tazilah untuk
membuktikan bahwa penggunaan akal berakibat kontradiksi sehingga penggunaan
akal harus dihindari. Bahkan ia menyebutnya sebagai sesuatu yang bid’ah dan
sesat. Untuk lebih jelasnya silahkan baca di http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/323-al-qonun-al-kully-undang-undang-universal-mendahulukan-akal-daripada-dalil
Oleh karena
kasus ini berangkat dari ketidak fahaman Firanda terhadap Madzhab Asy’ari maka
ada baiknya kita jelaskan dulu siapa Asy’ari sebenarnya?
1. Madzhab
Asy’ari.
Madzhab Asy’ari
adalah madzhab teologi yang dinisbatkan kepada pendirinya, yakni Abu Hasan
Al-Asy’ari. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas umat islam dari sejak dulu
hingga sekarang. (Ust. Idrus Romli, Madzhab Asy’ari, hlm 1 Khalista cet. 1
April 2009) Semua pengamat bidang teologi sepakat bahwa madzhab Asy’ari
merupakan satu-satunya madzhab yang mewakili ahlu sunah waljama’ah.
Kemunculannya adalah sebagai reaksi atas Mu’tazilah yang memosisikan akal di
atas nas Qur’an dan Hadits juga untuk membantu Madzhab Hanbali yang
mengesampingkan akal. (Muhammad Abu Zahro’, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah,
Edisi terjemahan, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, hlm. 189-190, Jakarta,
Logos)
Saat itu para
pengikut Imam Ahmad berjuang mempertahankan aqidah ahlu sunah untuk melawan
pemikiran mu’tazilah. Para pengikut Imam Ahmad berpegang teguh dengan nas Qura’an
dan Hadits tanpa memberi ruang pada akal. Sementara mu’tazilah berpegang teguh
dengan akal. Sehingga nas apapun yang tidak sesuai dengan akal, harus di tolak.
Melihat keadaan ini -setelah keluar dari mu’tazilah- Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menggunakan
dalil aqli untuk membantah pendapat mu’tazilah. Dengan begitu nas Al-Qur’an,
Hadits, pendapat sahabat, tabi’in, ahli hadits dan pendapat Imam Ahmad dapat
dipertahankan. (Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teori Rasional Mu’tazilah,
hlm. 5, Jakarta, UI-press, cet 1).
Maka wajar jika
dalam Ibanah, Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa pendapatnya mengikuti
al-quran, al-hadits, ucapan sahabat, tabi’in dan imam hadits, juga pendapat
Imam Ahmad. Kata beliau:
قولنا الذي نقول به، وديانتنا
التي ندين بها، التمسك بكتاب الله ربنا عز وجل، وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه
وسلم، وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما
كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل .
Pendapat yang
kami katakan dan pandangan hidup yang kami ikuti adalah berpegang dengan
kitabulloh (Al-Qur’an), sunah Nabi Muhammad SAW (Al-Hadits), riwayat dari para pembesar sahabat dan
tabi’in serta para imam hadits. Kami berpegang teguh dengan semua itu, dan kami
juga berpegang pada pendapat Abu Abdulloh, Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal. (Abu
Hasan, Ibanah, hlm.5)
Metode yang
dijalankan madzhab Asy’ari ternyata mendapatkan penilaian positif dari Ibn
Taimiyah. Sehingga ia menyebut ulama asya’iroh sebagai penolong ushuluddin.
Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki dalam mafahim menukil ucapan Ibn Taimiyah,
salah satu panutan wahabi, sebagaimana yang termaktub dalam kitab fatawi juz 4
hlm 16.
Kata Ibn Taimiyah:
والعلماء أنصار علوم الدين والأشاعرة
أنصار أصول الدين
“Ulama adalah penolong ilmu agama sedangkan asya’iroh adalah
penolong ushuluddin.” (Mafahim
Yajibu An Tushohah, hlm 119)
Meskipun
Firanda begitu anti terhadap penggunaan akal, namun pada kenyataannya dia juga menggunakan
akal saat mengomentari ucapan Ar-rozi. Firanda membuat analog tentang tukang
becak dan dokter. Bukankah analog hanya bisa disusun dari penalaran akal?
Firanda membuat analog berarti ia menggunakan akal. Firanda melarang orang
menggunakan akal tetapi ia sendiri menggunakan akal. Paradoks.
Firanda
menyalahkan para ulama yang menggunakan akal untuk membela nas Al-Qur’an dan
Hadits akan tetapi Firanda menggunakan akal untuk menyalahkan ulama-ulama
tersebut. Firanda menggunakan akal untuk menyalahkan para pembela ushuluddin.
Sedangkan ulama asya’iroh menggunakan akal untuk membela ushuluddin dengan cara
mentakwilkan ayat dan riwayat yang secara zhohirnya menyerupakan Alloh dengan
mahluk. Jadi siapa yang sesat? Jawab Wahai Firanda!!!
2. Penggunaan Akal Menurut AL-Qur’an.
Satu hal yang
menjadi kesepakatan saya dan Firanda adalah bahwa dalam beragama kita harus
berpegang teguh pada nas Qur’an dan Hadits. Perbedaannya adalah dalam
penggunaan akal. Menurut Firanda dalam beragama sama sekali tidak boleh
menggunakan akal. Namun bagaimana jika Al-Quran sendiri yang memerintah kita
untuk menggunakan akal? Apakah kita tidak boleh mengamalkan perintah tersebut?
Dalam Al-Quran
banyak sekali ayat yang menyinggung masalah akal. Kita diperintah untuk
memahami Al-Quran menggunakan akal. Sebagai contoh adalah Az-Zukhruf: 3
إنا جعلناه قرأنا عربيا لعلكم
تعقلون
Artinya:“Sesunggauhnya
kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa arab supaya kamu memahaminya.”
Hal senada juga
disinggung dalam Al-Baqoroh: 73, 76, 242, Ali Imron: 65, 118, Al-An’am: 32,
151, Al-A’rof: 169, Yusuf:2, Al-Anbiya’:
10, 67, Al-Mu’minun: 80, Annur: 61, Asy-Syu’aro’: 28, Al-Qoshosh: 60, Yasin: 62
dan lain-lain.
Al-Qur’an
memerintahkan kita untuk menggunakan akal. Namun Firanda malah melarang
menggunakan akal bahkan membid’ahkan dan menyesatkan penggunaannya. Siapa yang bid’ah
dan sesat? Al-Qur’an ataukah Firanda?
Yang sesat dan
ahli neraka adalah orang yang tidak menggunakan akalnya sebagaimana yang
disinyalir dalam Al-Quran surat Al-Mulk: 10
وقالوا لو كنا نسمع أو نعقل
ما كنا فى أصحاب السعير
Artinya: “Sekiranya
kami mendengarkan dan menggunakan akal niscaya tidaklah kami termasuk penghuni
neraka yang menyala-nyala.”
3. Penggunaan Akal Dalam Madzhab Asy’ari.
Al-Mulk: 10
menjelaskan bahwa orang yang tidak mendengarkan dan tidak menggunakan akalnya
untuk memahami apa yang ia dengar adalah ahli neraka. Mafhum Mukholafahnya, jika ada orang yang
mendengarkan kemudian memahaminya menggunakan akal, maka ia akan selamat.
Wahabi seperti
Aliran Hasyawiyah yang hanya mendengarkan tanpa memahami menggunakan akal. Sehingga
ketika ada orang yang memahami teks dalil menggunakan akal, langsung mereka
klaim sebagai aliran sesat. Sebaliknya, syiah 12 seperti mu’tazilah yang hanya
menggunakan akal. Sedangkan ulama Asy’ariyah mencoba menjembatani keduanya
dengan cara menggabungkan dua metode itu. Mereka menggabungkan antara apa yang
mereka dengar (Al-Qur’an, Hadits, Pendapat sahabat, tabi’in, muhadits serta pendapat
Imam Ahmad) dan akal. Dengan kata lain mereka menggunakan akal untuk memahami
apa yang mereka dengar.
Mengenai hal
ini, salah satu Ulama Asya’iroh, hujatul islam Imam Ghozali berkata: “Kaum
Hasyawiyah berasumsi wajibnya beku terhadap taklid dan mengikuti makna-makna
literal. Hal itu bersumber dari nalar mereka yang lemah dan wawasan mereka yang
sedikit. Sedangkan kaum filosof dan mu’tazilah berlebih-lebihan dalam
menggunakan akal sehingga berlawanan dengan dalil-dalil syara’ yang qoth’i.
Kelompok
pertama cendrung ekstrim sedangkan kelompok kedua cendrung sembrono. Keduanya
jauh dari sikap yang bijaksana dan berhati-hati. Justru yang menjadi kaidah
keyakinan adalah sikap moderat dan mengikuti jalan yang lurus.
Orang yang
merasa puas dengan hanya bertaklid kepada teks-teks hadits namun mengingkari
metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran. Sebab
syara’ bersandar terhadap sabda Nabi SAW sedangkan argumentasi rasional adalah
satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran sabda Nabi SAW dalam apa
yang beliau sampaikan. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak
mengikuti petunjuk cahaya syara’, juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju
kebenaran. Sebab ia hanya berpegang pada akal yang diliputi oleh kelemahan dan
keterbatasan.” (Abu Hamid Al-Ghozali, Al-Iqtishod Fil I’tiqod, hlm. 21 edisi
muwafaq Fauzi Al-Jabr, dengan disederhanakan).
Walhasil
penggunaan akal dalam madzhab asy’ari adalah untuk memahami teks al-qur’an atau
hadits sebagaimana yang diperintahkan oleh al-qur’an. Namun kecupetan dan
kekerdilan pemikiran Firanda –sebab ia tidak bisa menggunakan akalnya- tidak
mampu memahami penggunaan akal dalam madzhab asy’ari. Dengan berdasarkan
kecupetan berfikir ini, ia memfitnah madzhab asy’ari lebih mendahulukan akal
ketimbang dalil. Maha Suci Engkau Ya Alloh, ucapan Firanda adalah kedustaan
yang sangat besar.
No comments:
Post a Comment