Firanda
yang begitu anti terhadap penggunaan akal menyalahkan setiap orang yang
menggunakan akal tanpa alasan ilmiyah. Syekh Abdul Qoohir
al-Baghdaadi (wafat 429 H) tak luput dari sasaran kecupetannya,
sebagaimana yang tertera dalam artikelnya sebagai berikut:
Abdul
Qoohir al-Baghdaadi (wafat 429 H), ia telah mempersyaratkan agar suatu
hadits diterima maka harus tidak bertentangan dengan akal. Ia berkata:
"Kapan saja sah suatu khobar (riwayat) dan matannya (makna lafal-lafalnya)
bukanlah suatu hal yang mustahil menurut akal dan tidak ada dalil yang
menunjukkan dinaskh hukumnya maka wajib untuk diamalkan" (Ushuul Ad-Diin
hal 40, tahqiq : Ahmad Syamsuddiin, Daarul Kutub al-'Ilmiyah, cetakan pertama
1423 H)
Tanggapan:
Tidak
ada alasan apapun baik berupa dalil naqli maupun dalil aqli yang digunakan oleh
Firanda. Pertanyaannya sejak kapan islam mengajarkan umatnya untuk menyalahkan
seseorang dengan tanpa alasan? Apakah Nabi SAW pernah mencontohkan hal itu? Jawabannya
adalah tidak pernah.
Islam
mengajarkan kita untuk memberikan alasan ketika menyalahkan orang, baik
menggunakan dalil Naqli maupun dalil aqli. Ketika Firanda menyalahkan Syekh
Abdul Qohir dengan tanpa alasan, ini merupakan bukti bahwa ia harus belajar
lagi tentang islam. Sehingga ia tidak sembrono dalam menyalahkan orang dengan
mengatas namakan islam, padahal islam berlepas tangan dari hal-hal seperti itu.
Kita
telah membuktikan bahwa penggunaan akal merupakan perintah al-quran sebagimana
yang kita jelaskan dalam artikel Mafahim Yang Harus Di Luruskan II. Dalam
Al-Quran banyak sekali ayat yang menyinggung masalah akal. Kita diperintah
untuk memahami Al-Quran menggunakan akal sebagaimana yang disinggung dalam Az-Zukhruf:
3
إنا جعلناه قرأنا عربيا لعلكم
تعقلون
Artinya:“Sesunggauhnya
kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa arab supaya kamu memahaminya.”
Saya
kira ayat tersebut sudah cukup untuk meruntuhkan pandangan Firanda yang begitu
anti terhadap penggunaan akal. Selanjutnya kita akan lihat bagaimana ulama
ushul fiqh memosisikan akal dalam menilai suatu riwayat. Penting digaris bawahi
bahwa yang dimaksud khobar oleh Abdul Qohir Al-Baghdadi pada pernyataannya di
atas adalah khobar ahad.
Telah
maklum bahwa khobar menurut ulama ada tiga, yakni mutawatit, masyhur dan ahad. Semua
ulama ahlu sunah sepakat bahwa hadits mutawatir merupakan dalil qoth’I (yang
pasti benar). Demikian juga hadits masyhur. Berbeda dengan hadits ahad. Sebagian
ulama ahlu sunah mengatakan bahwa hadits ahad merupakan dalil zhonni. Sehingga
dalam penerimaannya, mereka memberikan berbagai syarat yang sangat ketat. Dengan
syarat-syarat tersebut, ulama ushul hadits mampu mengklarifikasi hadits dan
membaginya menjadi tiga, yakni shohih, hasan dan dho’if. Untuk lebih jelasnya
silahkan meruju’ kitab-kitab ushul hadits.
Ulama
ushul fiqh juga memberikan syarat-syarat tertentu dalam penerimaan hadits ahad.
Di sini saya hanya akan menukil syarat-syarat dari madzhab syafi’i. Sebab di
samping karena saya bermadzhab Syafi’I juga karena Syekh Abdul Qohir
Al-Baghdadi adalah ulama syafi’iyah. Bagi anda yang ingin mengetahui syarat-syarat
dari setiap madzhab, saya persilahkan untuk merujuk kitab “Ushulul Fiqh” karya
Al-Imam Muhammad Abu Zahro’.
Dalam kitab itu, beliau berkata:
وحديث
الاحاد يفيد العلم الظنى الراجح ولا يفيد العلم القطعى
“Hadits
ahad menurut pendapat yang unggul memberi faidah ilmu zhoni (belum pasti
kebenarannya) dan tidak memberikan ilmu yang qoth’I (pasti kebenarannya). (Imam
Abu Zahro’.” Ushul Fiqh, hlm 108)
Masalah
selanjutnya adalah, apakah hadits yang seperti itu wajib diamalkan? Menurut
ulama Ushul fiqh hadits tersebut wajib diamalkan apabila tidak ada yang
menentang. Akan tetapi hadits seperti itu tidak boleh digunakan sebagai dalil
dalam masalah aqidah. Sebab masalah aqidah di bangun atas dasar kemantapan dan
keyakinan, bukan atas dasar zhon. Sebab zhon dalam I’tikad sama sekali tidak
menduduki kebenaran. Kata beliau:
قالوا
إنه يجب العمل به إن لم يعارضه معارض ولكن لا يؤخذ به في الإعتقاد.
“Ulama ushul berpendapat bahwa hadits ahad
wajib diamalkan jika tidak ada yang menentangnya akan tetapi hadits itu tidak
boleh di ambil dalam masalah aqidah.” (Ibid, hlm 109)
Jadi
hadits ahad tidak boleh digunakan sebagai dalil masalah I’tiqod. Hadits-hadits
yang menerengkan sifat-sifat Alloh tidak ada yang mencapai derajat mutawatir
ataupun masyhur. Hadits-hadits itu hanya hadits ahad. Kita tidak boleh
menggunakan hadits itu sebagai dalil masalah aqidah. Begitu kata ulama ushul
fiqh. Meski demikian, Abdul Qohir Al-Baghdadi masih menggunakan hadits ahad
jika matan hadits itu bukan suatu hal yang mustahil menurut akal dan tidak ada
dalil yang menunjukkan dinaskh.
Maka dari itu beliau berkata:
"Kapan
saja sah suatu khobar (riwayat) dan matannya (makna lafal-lafalnya) bukanlah
suatu hal yang mustahil menurut akal dan tidak ada dalil yang menunjukkan dinaskh
hukumnya maka wajib untuk diamalkan"
Persyaratan
bahwa matan hadits itu harus masuk akal adalah merupakan persyaratan yang
diajukan oleh ulama ushul fiqh madzhab syafi’i. Syekh Asy-Syairozi dalam kitab
al-luma’ menyebutkan bahwa khobar/hadits ahad yang diriwayatkan oleh perowi
tsiqoh dapat ditolak dengan 5 hal, salah satunya adalah hadits tersebut tidak
bertentangan dengan akal. Kata beliau:
إذا
روي الخبر ثقة رد بأمور : أحدها أن يخالف موجبات العقول فيعلم بطلانه.
“Apabila
seorang yang tsiqoh (dapat dipercaya) meriwayatkan sebuah khobar (hadits) maka
ia dapat ditolak dengan beberapa perkara, pertama: apabila khobar tersebut
bertentangan dengan ketetapan akal kemudian diketahui kebathilan khobar
tersebut.”(Al-Luma’ Bab Bayanu Ma Yuroddu Bihi Khobarul Wahid, hlm 42)
Dengan
demikian penerimaan riwayat ahad harus sesuai dengan akal adalah merupakan
syarat dalam madzhab syafi’i. Syekh Abdul Qohir Al-Baghdadi adalah seorang
ulama syafi’iyah. Jadi wajar jika beliau memberlakukan syarat tersebut. Ini
adalah pendapat ulama syafi’iyah dalam menanggapi hadits ahad. Lalu bagaimana
pendapat anda dalam menanggapai hadits ahad wahai Firanda?
No comments:
Post a Comment