Disamping
itu, dia juga menguasai setiap permasalahan fiqh pada masa itu dan sangan ‘alimtentang
perbedaan pendapat para ulama sejak periode sahabat sampai saat itu. Dia juga
sangat berminat untuk mengetahui sebab-sebab perselisihan dan perbedaan
persepsi para ulama yang berselisih.
Dengan
modal tersebut, disamping modal-modal yang lain, maka lengkaplah sarana yang
diperlukan Imam Syafi’imenggali masalah-masalah fiqh yang ada beberapa kaidah
yang menjadi dasar pertimbangan pendapat para ulama terdahulu dan dijadikan
dasar pijakan ulama berikutnya dalam menggali hukum-hukum syara’. Dari dasar
tersebut terlihat bahwa mereka saling berdekatan, bukan saling berjauhan.
Dengan
ilmu bahasa Imam Syafi’i mampu menggali kaidah-kaidah untuk mengeluarkan
hukum-hukum fiqh dari nash Al Quran dan Hadits. Dengan belajar di Makkah dimana
dia mewarisi ilmunya Abdullah ibn Abbas yang dikenal sebaga i penafsir Al Quran
(Turjuman Al Quran) dia mengetahui nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang
dihapus).
Dengan
pengetahuan yang mendalam tentang hadits dan belajarnya dengan ulama ahli
hadits serta perbandingannya dengan Al Quran, dia mampu mengetahui kedudukan
Hadits terhadap Al Quran, terutama ketika terjadi pertentangan antara beberapa
zhahir hadits dengan zhahir Al Quran.
Penguasaan
Imam Syafi’i terhadap fiqh ahli ra’yi serta pendapat-pendapat para sahabat
dijadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah qiyas dan juga sebagai dasar
untuk menetapkan kaidah-kaidah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bukan
berarti dialah yang menciptakan seluruh kaidah tersebut, tetapi hanyalah
menganalisis secara mendalam metode penetapan hukum yang telah dipakai oleh
ulama fiqh yang belum sempat dibukukan.
Jadi
dia bukanlah yang menciptkan metode penggalian hukum syara’ (ushul fiqh)
tersebut, akan tetapi dialah orang yang pertama kali menghimpun metode-metode
tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan bagian-bagiannya tersusun
secara sistematis. Sebagaimana Aristoteles yang membukukan ilmu logika, dia
tidaklah menciptakan dasar-dasar berfikir, akan tetapi hanya menyusun dan
membukukan cara berfikir tersebut.
Pendapat
yang menetapkan Imam Syafi’i sebagai pemula dalam membukukan ilmu Ushul Fiqh
ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu orangpun
yang mengingkarinya. (Lihat, Abu Zahro, Ushul Fiqh, hlm 13-14, cet. Darul Fikr
Al-‘Arobi)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSungguh brmanfaat :)
ReplyDeleteTrimakasih atas kunjungannya. semoga blog ini benar2 bermanfaat bagi umat islam sebagaimana yang anda katakan :D
ReplyDelete