Dalam
artikelnya Firanda menukil ucapan salah satu pengikut madzhab Asy’ari, Ibn
Faurok. Kemudian ia mengomentari ucapan tersebut dan menyebutnya telah
menyimpangkan ma’na zhohir hadits. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ucapan
Ibn Faurok dan komentar Firanda, sebagai berikut:
Ibnu Faurok (wafat 406 H), ia telah menulis kitabnya
"Musykil al-Hadits wa Bayaanuhu". Dalam buku tersebut terlalu banyak
dalil-dalil wahyu yang ia takwil dengan makna menyimpang. Ia berkata di
muqoddimah kitabnya tersebut : "Kami sebutkan dalam kitab tersebut
hadits-hadits yang mashur yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam yang dzohirnya mengesankan tasybiih (penyerupaan dengan
makhluk-pen)" (Musykil, Al-Hadits Wa Bayanuhu, Tahqiq: Daniel
Jimariah, cet Ma’had al-Faronsi, Li ad-Dirosah al-‘Arobiyah, Damasykus, hal 2)
Kemudian Firanda
menyalahkan ucapan itu dan berkomentar: “Oleh karenanya mayoritas
hadits-hadits yang menetapkan sifat-sifat Allah menurut akal Ibnu Faurok tidak
bisa diterima dzohirnya karena menunjukkan tasybiih, karenanya iapun menta’wil/
menyimpangkan makna zhohir hadits.”
Tanggapan:
Jika anda
membaca kitab tersebut maka anda akan berterimakasih kepada Ibn Faurok karena
telah menjelaskan hadits-hadits sifat yang oleh mu’tazilah dan orang-orang
kafir dianggap saling bertentangan. Ibn Faurok menjelaskan hadits-hadits itu
sehingga jelas bahwa hadits itu tidak bertentangan. Cara yang beliau gunakan
adalah dengan menta’wil hadits tersebut.
Firanda
menyebut ta’wil sebagai penyimpangan. Padahal cara yang digunakan oleh Ibn
Faurok sama persis dengan yang dilakukan oleh Ulama salaf. Ibn Qutaibah ketika
menjelaskan ayat-ayat Qur’an yang dianggap saling bertentangan oleh mu’tazilah
dan orang-orang kafir juga menggunakan ta’wil. Untuk lebih jelasnya silahkan
anda baca kitab “Ta’wilu Musykilil Qur’an” karya Ibn Qutaibah (Wafat 276 h)
Oleh karena
Firanda tidak menukil hadits yang dia anggap disimpangkan oleh Ibn Faurok, maka
saya tidak akan membahas subtansi kitab itu. Saya hanya akan membahas apa yang
dipermasalahkan oleh Firanda, yaitu masalah ta’wil. Pikiran Firanda yang cupet
menganggap ta’wil sebagai penyimpangan. Istilah lain yang digunakan oleh
Utsaimin dan Al-Albani untuk menyebut ta’wil adalah tahrif. Jadi menurut wahabi
ta’wil sama dengan tahrif atau distorsi atau penyimpangan.
Agar
pembahasannya tidak rancu seperti otak wahabi yang dipenuhi dengan kerancuan,
ada baiknya jika kita ketahui dulu makna ta’wil yang sebenarnya. Menurut Abu
Ubaidah ta’wil dan tafsir memiliki makna yang sama. Hanya saja menurut
Ar-Righib tafsir lebih umum ketimbang ta’wil. (DR. Sayyid Muhammad Bin Alawi
Al-Maliki Al-Hasani, Zubdatl Itqon Fi ‘Ulumil Quran, hlm. 146)
Dengan
demikian orang yang menganggap ta’wil sebagai tahrif dan penyimpangan sama
artinya ia menganggap tafsir sebagai tahrif dan penyimpangan. Ketika Firanda
mengatakan Ibn Faurok telah menyimpangkan hadits karena menta’wilkannya, ini
merupakan sindiran bagi Ibn Katsir bahwa Ibn Katsir adalah penyimpangkan makna-makna
Qur’an karena telah menafsirkan Qur’an. Ajibnya Firanda dan wahabi lainnya juga
menggunakan tafsir Ibn Katsir. Alloh yahfazh!!!
Jika Firanda
dan wahabi menganggap ta’wil sebagi tahrif dan penyimpangan, lalu bagaimana
menurut Ulama ahlu sunah waljama’ah? Menurut Al-Hafizh Badruddin Az-Zarkasyi
dan Asy-syaukani, ta’wil dan tafwidh merupakan metode salaf sholih dari
generasi sahabat.
وقد اختلف الناس في الوارد منها أي المتشابهات في الأيات
والأحاديث علي ثلاثة فرق : أحدها أنه لا مدخل للتأويل فيها بل تجرى علي ظاهرها
ولانؤول شيأ منها وهم المشبهة . الثانية أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه
اعتقادنا عن الشبه والتعطيل ونقول لايعلمه إلا الله وهو قول السلف . والثالثة أنها
مؤولة وأولوها علي ما يليق به . والأول باطل يعنى مذهب المشبهة والأخيران منقولان
عن الصحابة
Artinya: “Para
pakar berbeda pendapat tentang teks mutasyabihat dalam ayat-ayat Quran dan
hadits menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak
boleh dita’wil, tetapi diperlakukan dengan pengertian literalnya, dan kami
tidak melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran musyabihah
(faham yang menyerupakan Alloh dengan mahluk).
Kedua, kelompok yang
berpendapat bahwa teks-teks tersebut boleh dita’wil tetapi kami menghindar
untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan (Alloh
dengan mahluk Nya) dan menafikan (sifat-sifat yang ada dalam teks-teks
tersebut). Kami berkeyakinan bahwa ta’wil terhadap teks-teks tersebut hany
Alloh yang mengetahui. Mereka adalah aliran salaf.
Ketiga, kelompok yang
berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus dita’wil. Mereka menta’wilkannya
sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Alloh.
Kelompok yang
pertama yaitu aliran musyabihah adalah bathil. Sedangkan dua kelompok yang
terahir dinukil dari sahabat Nabi SAW.”
Hal senada
juga dikatakan oleh Al-Imam Muhammad Bin Ali Asy-Syaukani. Beliau adalah
salah satu ulama yang oleh wahabi disebut sebagai pengikut salaf. Oleh karena
itu wahabi mengidolakan beliau. Bagaimana komentar beliau mengenai ta’wil?
Ternyata komentar beliau tidak berbeda dengan komentar Az-Zarkasi di atas.
الفصل الثانى فيما يدخله التأويل وهو قسمان أحدهما أغلب
الفروع ولاخلاف في ذلك . والثانى الأصول كالعقائد وأصول الديانات وصفات البارى وجل
. وقداختلفوا في هذا القسم علي ثلاثة مذاهب : الأول أنه لامدخل للتأويل فيها بل
تجرى علي ظاهرها ولا يؤول شيء منها وهذا قول المشبهة والثانى أن لها تأويلا ولكنا
نمسك عنه مع تنزيه اعتقادناعن التشبيه والتعطيل لقوله تعالى (وما يعلم تأويله إلا
الله ) قال ابن برهان وهذا قول السلف . والمذهب الثالث أنها مؤولة قال ابن برهان
والأول من هذه المذاهب باطل والأخران منقولان عن الصحابة ونقل هذا المذهب
الثالث عن علي وابن مسعود وابن عباس وأم سلمة .
Artinya: Bagian kedua tentang teks yang dapat dita’wil
yaitu ada dua bagian. Pertama, teks yang berkaitan dengan furu’ yang sebagian
besar memang dita’wil dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama.
Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan ushul seperti aqidah dasar-dasar agama
dan sifat-sifat Alloh. Para pakar
berbeda pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga aliran.
Pertama, kelompok yang
berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh dita’wil tetapi diperlakukan
sesuai dengan pengertian literalnya dan tidak boleh melakukan ta’wil apapun
terhadapnya. Mereka adalah aliran musyabihah (Aliran yang menyerupakan Alloh
dengan mahluknya)
Kedua, kelompok yang berandangan bahwa teks-teks
tersebut boleh dita’wil tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta
mensucikan keyakinan kami dari menyerupakan (Alloh dengan mahluknya) dan
menafikan (sifat-sifat yang ada dalam teks tersebut). Karena firman Alloh
“tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Alloh.” Ibn Burhan berkata: ini
adalah pendapat ulama salaf.
Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa
teks-teks tersebut harus dita’wil.
Ibn Burhan berkata: madzhab yang pertama dari ketiga
madzhab ini adalah pendapat yang BATIL. Sedangkan dua madzhab yang
terahir dinukil dari sahabat Nabi SAW bahkan madzhab yang ketiga ini
diriwayatkan dari Sayyidina Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan Umu salamah.
(Irsyad
Al-Fuhul Ila Tahqiq Min ‘Ilmil Ushul, hlm. 176).
Kesimpulannya, dalam menanggapi ayat dan hadits tentang
sifat-sifat Alloh, apakah boleh dita’wil ataukah tidak? Maka dalam hal ini ada
tiga pendapat. Pertama, tidak boleh dita’wil. Kedua, boleh dita’wil. Ketiga
harus dita’wil. Menurut Ibn Burhan, pendapat pertama adalah BATIL. Sedangkan
pendapat kedua dan ketiga adalah dinukil dari sahabat.
Ibn Faurok
menta’wil hadits terkait masalah sifat. Dengan demikian ia termasuk golongan yang
ketiga yang disetujui oleh golongan ke dua. Sedangkan Firanda dan wahabi adalah
golongan yang anti ta’wil. Maka jelas Firanda dan Wahabi termasuk aliran yang
pertama, yaitu aliran musyabihah yang BATIL. Jadi siapa yang bathil?
Firanda yang anti ta’wil ataukah Ibn Faurok yang menta’wil hadits sifat?
izin share nggih ustdz
ReplyDelete