Sebagian
pihak seperti golongan al-Wahhabiyyah (yang mengaku diri mereka sebagai
al-Salafiyyah - sedangkan al-Salafus-Salih berlepas daripada mereka-) mereka
mengklaim bahwa al-Imam al-Shafi'i menolak dan mencela ilmu kalam secara
mutlak.
Mereka
mendatangkan beberapa perkataan al-Imam al-Shafi'i – dgn sangkaan mereka – yang
menunjukkan penentangan dan penolakan beliau terhadap ilmu kalam tersebut.
Di
Antara kata-kata yang dianggap sebagai pendapat al-Imam al-Shafi'i ialah:
لأن يلقى الله العبدُ بكل ذنب ما عدا الشرك خير له من أن
يلقاه بعلم الكلام
“Bahwa
pertemuan seorang hamba dengan Allah dengan setiap dosa yang selain dosa syirik
itu lebih baik baginya daripada dia bertemu Allah dengan ilmu kalam”.
Sebenarnya
lafaz di atas tidak thabit dari al-Imam al-Shafi'i. Lafaz yang thabit dari
beliau ialah sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh al-Hafiz Ibn 'Asakir di
dalam kitabnya Tabyin Kadhibil-Muftari:
لأن يلقى الله عزّ وجلّ العبدُ بكل ذنب ما خلا الشرك خير له
من أن يلقاه بشىء من هذه الأهواء
“Bahwa
pertemuan seorang hamba dengan Allah azza wa-jall dengan setiap dosa yang
selain dosa syirik itu lebih baik baginya daripada dia bertemu Allah dengan
sesuatu yang muncul daripada hawa nafsu (al-ahwa’)”. (Ibn 'Asakir, Tabyin Kadhibil-Muftari, Dar al-Kitab al-'Arabi,
Beirut, hlm. 337)
Kata-kata
al-Imam al-Shafi'i yang diriwayatkan oleh al-Hafiz Ibn 'Asakir di atas
menjelaskan pendirian yang sebenarnya dari al-Imam al-Shafi'i terhadap ilmu
kalam. Sebenarnya perkara yang ditentang dan ditolak oleh al-Imam al-Shafi'i
ialah ilmu kalam golongan al-Ahwa’ yaitu ilmu kalam golongan yang menyeleweng
dari ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah seperti golongan al-Mujassimah,
al-Mu'tazilah, Jabbariyyah dan yang sebagainya.
Adapun
ilmu kalam golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah maka itu tidak ditentang dan tidak
ditolak al-Imam al-Shafi'i. Al-Imam al-Hafiz Ibn 'Asakir menyatakan dalam kitabnya
Tabyin Kadhibil-Muftari:
والكلامُ المذموم كلام أصحاب الأهوية وما يزخرفه أرباب
البدع الـمُرْدية فأما الكلام الموافق للكتاب والسنة الموضح لحقائق الأصول عند
ظهور الفتنة فهو محمود عند العلماء ومن يعلمه وقد كان الشافعي يحسنه ويفهمه وقد
تكلم مع غير واحد ممن ابتدع وأقام الجحة عليه حتى انقطع
“Dan
perbahasan kalam yang dicela ialah perbahasan kalam golongan Ahwiyyah (pengikut
hawa nafsu yang juga digelari sebagai Ahlul-Ahwa’) dan sesuatu yang dianggap
baik oleh ahli bidaah yang menyeleweng.
Adapun
perbahasan kalam yang selaras dengan al-Kitab (al-Quran) dan al-Sunnah yang
menjelaskan hakikat-hakikat usul (tauhid) ketika munculnya fitnah (ketika
berkeliarannya golongan sesat) maka ini suatu hal yang terpuji di menurut para
ulama dan siapa yang mengetahuinya.
Sesungguhnya
al-Imam al-Shafi'i menguasai dengan baik dan memahami bahasan kalam ini, dan
beliau juga membahas atau berbicara dengan ilmu kalam dengan seorang daripada
golongan yang telah melakukan bidaah kalam dan beliau telah dapat mengalahkan
hujah atas ahli bidaah tersebut sehingga putus”. (Ibid, 339)
Al-Imam
al-Hafiz al-Bayhaqi telah meriwayatkan dalam kitabnya al-Asma’ was-Sifat perdebatan
panjang yang berlaku di antara al-Imam al-Shafi'i dengan seorang yang
berfahaman Mu^tazilah yang bernama Hafs al-Fard sehingga al-Imam al-Shafi'i
dapat mematahkan hujah-hujah lawannya. Perdebatan ini jelas membuktikan bahawa
al-Imam al-Shafi'i seorang yang mahir dan pakar dalam ilmu kalam. (Al-Bayhaqi,
al-Asma’ was-Sifat, Dar Ihya’ al-Turath al-'Arabi, Beirut, hlm. 252.)
Selain
itu, al-Imam al-Hafiz al-Bayhaqi berkata dalam kitabnya Manaqib
al-Shafi'i bahwa beliau membaca suatu hikayat yang ada dalam kitab Abu
Nu'aym al-Asbahani daripada al-Sahib ibn Abbad bahwa dia menyebut dalam
kitabnya dengan isnad beliau dari Ishaq bahawa dia (Ishaq) berkata: “Ayahku
berkata kepadaku: “Pada suatu hari al-Shafi^i berbicara dalam ilmu kalam dengan
sebagian fuqaha’ lalu beliau menghaluskannya dan menelitinya, bersungguh dan
bersusah-payah dengan bahasannya.
Lalu
aku berkata kepada beliau: “Wahai Abu 'Abdullah! Ini adalah milik ahli kalam
(mutakallimun) bukannnya milik ahli halal dan haram (fuqaha’). Lalu dia
berkata:
أحكمنا ذاك قبل هذا
“Kami
telah menyempurnakan perkara itu (ilmu kalam) sebelum perkara ini (ilmu fiqh;
hukum halal dan haram)”. (Al-Bayhaqi,
Manaqib al-Shafi'i, Dar al-Nasr lit-Tiba'ah, Kaherah, juz. 1, hlm. 457)
Ilmu
kalam menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah al-Asha'irah dan al-Maturidiyyah adalah
salah satu nama di antara nama-nama yang merujuk kepada ilmu tauhid. Namun,
sebagian pihak seperti golongan al-Wahhabiyyah coba-coba membedakan ilmu kalam
dengan ilmu tauhid tanpa sebab yang kuat.
Mereka
menuduh bahwa ilmu kalam Ahlus-Sunnah al-Ashairah dan al-Maturidiyyah ini
mengajar falsafah yang berbelit-belit dan bukannya mengajar ilmu tauhid.
Tuduhan seperti ini acap kali dikeluarkan oleh syaikh wahabi dalam banyak
tulisan dan ucapannya dengan bertaqlid kepada pendapat beberapa orang tokoh
kegemarannya tanpa hujah dan bukti yang kukuh.
Siapalah
wahabi yang mencela ilmu kalam al-Asha’irah jika dibandingkan dengan ketokohan
dan keilmuan al-Imam al-Hafiz Ibn 'Asakir dan al-Imam al-Hafiz al-Bayhaqi yang
membela ilmu kalam Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah al-Asha'irah dan al-Maturidiyyah!
inilah kerapuhan salafy yg mencela ilmu kalam.
http://abuzuhriy.com/pandangan-imam-yang-empat-mengenai-ilmu-kalam/?subscribe=success#blog_subscription-2
ReplyDeleteImam Asy-Syafi'i pernah berkata, “Jika kalian mendapatkan dalam kitabku ada yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihii Wasallam, maka berkatalah sesuai Sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang telah aku katakan.”( Siyarul A’lam An Nubala’,Imam Adz Dzahaby 10/ 34)
ReplyDeleteImam Abu Hanifah berkata:
ReplyDelete“Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya datang di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia”.
(Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137)
Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata:
ReplyDelete“Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja”
(Jami’ Bayan al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415)
Berkata Imam Ahmad:
ReplyDelete“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul kalam, walaupun ia membela sunnah. Karena urusannya tidak akan membawa kebaikan!”
(Al-Ibanah, juz 2/540 melalui nukilan Lamu ad-Duur Minal Qaulil Ma’tsur, Syaikh Jamal Ibnu Furaihan, hal. 40)
Imam At-Tirmidzi berkata: Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata:
ReplyDeleteمَنْ تَعَاطَى الْكَلَامَ لَا يُفْلِحُ، وَمَنْ تَعَاطَى الْكَلَامَ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَتَجَهَّمَ .
“Orang yang mengambil ilmu kalam tidak akan beruntung. Dan barangsiapa mengambil ilmu kalam, tidak bisa lepas dari menjadi jahmiyah.”
Imam asy Syathibiy berkata:
ReplyDelete“Allah ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى الله وَ الرَّسُوْلِ
Dan jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rosul (An-Nisa 59)
Maka tidak boleh khilaf yang ada di antara para ulama, kita kembalikan kepada hawa nafsu, tetapi kita kembalikan kepada syari’at”.