Di beberapa
web dan blog milik wahabi, saya melihat mereka membahas masalah palafalan niat
dan mengklaimnya sebagai sesuatu yang bid’ah. Alasannya tidak ada dalilnya dari
ayat qur’an maupun hadits. Berikut ini saya copaskan komentar mereka mengenai
pelafalan niat.
1. aslibumiayu.wordpress.com
Masyarakat
kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat
sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena
demikianlah yang banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah
diajarkan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi.
Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat’Usholli fardhol Maghribi.
2. al-atsariyyah.com
Melafazhkan
niat dipandang sebagai perbuatan bid’ah http://al-atsariyyah.com/fatawa-asy-syaikh-muqbil-seputar-wudhu.html
3. Member
Wahabi
Member
Wahabi bernama Ghadih Fatah, mulai mengajukan hayalannya. Dia menabak-nebak
cara istinbat kesuhanan pelafatan niat sholat. Katanya: Bid’ah lafazh sholat
ternyata karena kesalahan memahami hadits. “Shollu kama roaytu muni usholy”
Kalimat muni usholi di pahami dengan bahasa jawa….. dst. Beginilah cara ahli
bid’ah memahami hadits.” Begitu kata wahabi.
Kesimpulan:
- Dari
komentar mereka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
- Mereka
tidak tahu bagaimana cara istinbat (Pengambilan hukum) sehingga pelafalan niat
disebut sunah.
- Mereka
mengharuskan segala sesuatu harus ada dalilnya dari ayat quran atau hadits.
- Mereka
suka berhayal dan menebak kemudian hasil hayalannya di nisbatkan kepada pihak
lain.
Kritik:
Akan
sangat bijak jika wahabi bersedia memelajari cara istinbat para ulama yang
menyatakan hukum pelafalan niat adalah sunah, sebagaimana yang akan kita bahas
dalam sesi tanggapan, Insya Alloh.
Dalam
islam ada bidang ilmu yang disebut dengan ushul fiqih. Dalam ushul fiqih
dijelaskan beberapa sumber hukum, yaitu
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. artinya, kita boleh menjadikan salah satu
dari 4 hal tersebut sebagai dasar pencetusan hukum. Kita boleh mencetuskan
hukum berdasarkan qias. Hukum yang dicetuskan berdasarkan qias, tentu saja
tidak ada dalilnya dari quran dan hadits.
Tolong
jika ingin mengkritik amalan orang lain, lakukanlah secara proposional. Jangan menggunakan
hayalan dan tebak-tebakan anda kemudian hasilnya anda nisbatkan kepada orang
yang anda kritik.
Tanggapan Saya:
1. Titik
Permasalahan
Agar
pembahasannya tidak kacau, ada baiknya jika kita ketahui titik persoalannya
terlebih dahulu. Pertama-tama, perlu kita ketahui bahwa seluruh ulama sepakat
bahwa niat dalam ibadah adalah syarat keabsahan ibadah. Jadi hukumnya adalah wajib. (Bidayatul
Mujtahid Wan Nihayatul Muqtashid, hlm 87).
Perbedaan
pendapat terjadi ketika membahas pelafalan niat. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam Kitab Fiqih ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah juz 1 hlm 195. Jadi ini
merupakan masalah khilafiyah dalam fiqih.
Dalam
mengomentari khilafiyah seperti ini, para ulama membuat sebuah kaidah, sebagai
berikut:
لا ينكر المختلف فيه ،
وإنما ينكر المجمع عليه
“Sesuatu yang masih diperselisihkan tidaklah
di ingkari, sesungguhnya yang dingkari adalah sesuatu yang telah menjadi Ijma’.” (Asybah Wan-Nazhoir, juz 1 hlm 158 dan Idhohul
Qowaid Al-Fiqhiyah Li Thulabil Madrosah, juz 1 hlm 90)
2. Istinbat (Pencetusan Hukum)
Dalil kesunahan pelafalan niat tidak diambil dari Al-Qur’an,
Hadits, maupun ijma’. Melaikan dari Qiyas. Jadi wajar jika kita tidak menemukan
dalil pelafalan niat dalam qur’an, hadits dan ijma’. Lha wong dalilnya adalah qiyas
kok.
Adapun metode istinbatnya adalah sebagai
berikut:
و حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ
حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ بَكْرٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَبِّي بِالْحَجِّ
وَالْعُمْرَةِ جَمِيعًا قَالَ بَكْرٌ فَحَدَّثْتُ بِذَلِكَ ابْنَ عُمَرَ فَقَالَ
لَبَّى بِالْحَجِّ وَحْدَهُ فَلَقِيتُ أَنَسًا فَحَدَّثْتُهُ بِقَوْلِ ابْنِ
عُمَرَ فَقَالَ أَنَسٌ مَا تَعُدُّونَنَا إِلَّا صِبْيَانًا سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
Dan
Telah meceritakan kepada kami Suraij bin Yunus Telah menceritakan kepada kami
Husyaim Telah menceritakan kepada kami Humaid dari Bakr dari Anas radliallahu
‘anhu, ia berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca
talbiyah (memulai ihram) untuk haji dan umrah sekaligus.
Bakr
berkata; Lalu saya menceritakan hal itu kepada Ibnu Umar, maka ia pun berkata,
Beliau membaca talbiyah (memulai ihram) hanya untuk haji saja. Kemudian aku
menemui Anas dan menceritakan ungkapan Ibnu Umar, maka Anas pun berkata, Kalian
tidaklah menganggap kami, kecuali masih kecil (saat itu). Saya telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca: LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya
Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah sekaligus hajji). (HR. Muslim).
Hadits
ini menunjukan bahwa Rasulullah saw melafazhkan niat di waktu beliau melakukan
umrah dan hajji. Ini namanya lafazh niat hajji qiran. Imam Ibnu Hajar
mengatakan bahwa Usholli ini diqiyaskan kepada hajji.
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ وَبِشْرُ
بْنُ بَكْرٍ التِّنِّيسِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي
يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنِي عِكْرِمَةُ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي الْعَقِيقِ
يَقُولُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي
الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ
Telah
menceritakan kepada kami Al Humaidiy telah menceritakan kepada kami Al Walid
dan Bisyir bin Bakar At-Tinnisiy keduanya berkata, telah menceritakan kepada
kami Al Awza’iy berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya berkata, telah
menceritakan kepada saya ‘Ikrimah bahwa dia mendengar Ibnu ‘Abbas radliallahu
‘anhuma berkata, bahwa dia mendengar ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata; Aku
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di lembah Al ‘Aqiq:
Malaikat yag diutus oleh Rabbku datang kepadaku dan berkata: Shalatlah di
lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: Aku berniat melaksanakan ‘umrah
dalam ‘ibadah hajji ini. (HR. Bukhari)
Lafazh
“Ushalli” yang berarti “Aku shalat” atau “Sengaja aku shalat” mirip dengan
lafazh “Sengaja aku umrah dan hajji”. Dan itulah lafazh niat. Niat adalah
menyengaja sesuatu perbuatan, dan letaknya di hati. Adapun melafazhkan niat
adalah mengucapkan niat dengan lisan yang dapat membantu hati berniat untuk
menyengaja suatu perbuatan. Dengan
berdasarkan qiyas ini, sebagian ulama berpendapat bahwa hukum melafalkan niat
adalah sunah.
3. Ulama
Yang Menyunahkan Pelafalan Niat.
a. Syamsudin
Muhammad Bin Ahmad Asy Syarbini Al-Khothib, dalam kitab Al-Iqna’ Juz 1 hlm 124
mengatakan:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد
اللسان القلب ولانه أبعد عن الوسواس
Artinya: “Disunahkan mengucapkan perkara yang diniati…..”
b. Imam Mahali dalam kitab Mahali Juz
1 hlm 162 mengatakan:
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ)
لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.
Artinya:
“Disunahkan mengucapkan niat…”
c. Ibn
Hajar Al-Haitami dalam Minhajul Qowim mengatakan:
ولصحة الصوم شروط الأول النية ) لخبر ( إنما الأعمال بالنيات ) ومر الكلام عليها وإنما تجب بالقلب
ويسن التلفظ بها وتجب في الفرض والنفل
Artinya:
“Untuk ke absahan puasa ada beberapa syarat, pertama niat……. Adapun kewajiban
niat adalah menggunakan hati dan disunahkan melafalkannya….”
d. Ibnu
Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 mengatakan: “Dan disunnahkan
melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat
menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya
walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz yakni menyimpang.
Kesunahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazhan dalam niat hajji.”
e. Imam
Ramli dalam Nihayatul Muhtaj Jilid I/437, mengatakan: “Dan disunnahkan
melafazhkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan
menolong hati dan karena pelafazhan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga
untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya.”
f. DR.
Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767, mengatakan: “Disunnahkan
melafazhkan niat menurut jumhur selain madzhab Maliki.”
4. Komentar
Imam Suyuthi dan Imam Nawawi Dalam Pelafalan Niat.
Oleh
karena itu, dalam mengomentari pelafalan niat, Imam Suyuthi dan Imam Nawawi
mengatakan bahwa pelafalan niat adalah lebih utama dan lebih sempurna.
Imam Nawawi, dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab Juz 1 hlm 316
mengatakan:
النِّيَّةُ
بِالْقَلْبِ وَلَا يَجِبُ اللَّفْظُ بِاللِّسَانِ مَعَهَا: وَلَا يجزئ وحده وان
جمعها فَهُوَ آكَدُ وَأَفْضَل
Artinya: “Niat adalah dengan hati dan tidak wajib melafalkannya
dengan lisan: tidak cukum hanya melafalkan nya saja. Apabila seseorang
mengumpulkan keduanya (Niat dengan hati dan lisan) maka hal tersebut lebih kuat
dan lebih utama.”
Imam
Suyuthi dalam Al-hawi Fi Fiqhi Syafi’I Juz 2 hlm 9,
mengatakan:
مَحَلُّ النِّيَّةِ في الصلاة وَهُوَ الْقَلْبُ
، وَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ بِهِ ، لِأَنَّهَا تُفْعَلُ بِأَنْأَى عُضْوٍ فِي
الْجَسَدِ ، وَهُوَ الْقَلْبُ وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ فَلَهُ ثَلَاثَةُ
أَحْوَالٍ : أَحَدُهَا : أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ ، وَيَلْفِظَ بِلِسَانِهِ
فَهَذَا يُجْزِئُهُ ، وَهُوَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ
Artinya:
“Tempat niat dalam sholat adalah hati…… Apa bila seseorang telah berniat
dalam hati maka selanjutnya baginya ada tiga keadaan, pertama: Ia niat dengan
hatinya dan melafalkan niat dengan lisan, maka ini mencukupi baginya. Ini
merupakan keadaannya yang paling sempurna.”
Demikianlah
penjelasan tentang pelafalan niat. Jadi dalil kesunahannya tidak diambil dari
Al-Qur’an ataupun hadits ataupun ijma’. Melainkan dari qiyas. Dan qiyas
merupakan salah satu sumber hukum syari’at.
5. Cara
Pelafalan Niat
Dalam
kitab safinatunnaja dijelaskan tata cara pelafalan niat sebagai berikut:
Manakala
shalat itu fardhu maka wajib bermaksud mengerjakan, menentukan jenis shalat dan menerangkan
kefardhuannya. Manakala
shalat sunnah, yang terbatas oleh waktu seperti shalat rawatib atau shalat sunnah
yang terikat sebab maka wajib menyengaja mengerjakannya dan menentukan shalat. Manakala
shalat sunnah mutlak, maka hanya wajib bermaksud (menyengaja) mengerjakannya
(saja)
Mengenai
“أصلي ”/ushalli/aku
shalat” (itu adalah menyengaja (qashdul fi’li) sedangkan ta’yin adalah menentukan jenis
shalaat, sepeti dzuhur dan asar. Sedangkan fardhiyah adalah menyatakan fardhu.
6. Pertanyaan
Buat Wahabi
Jika
wahabi masih ngeyel dan memaksakan kehendak mereka untuk membid’ahkan pelafalan
niat karena tidak ada dalilnya dar al-quran dan hadits, maka mari kita lihat
ajaran wahabi tentang pembagian tauhid menjadi tiga. Adakah dalilnya?
Adakah
ayat Qur’an yang mengatakan “Hai orang-orang beriman sesungguhnya tauhid itu
dibagi menjadi tiga?” Adakah haditsnya yang menegaskan bahwa Nabi SSAW
bersabda: “Tauhid itu ada tiga…” Adakah penjelasan dalam kitab Marotibul Ijma’
yang mengatakan bahwa “Seluruh ulama sepakat bahwa tauhid di bagi menjadi tiga?”
Apakah
pembagian tauhid menjadi tiga adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya dari
Al-Quran dan Hadits? Jika wahabi menjawab bahwa pembagian tauhid menjadi tiga
hanya merupakan hasil ijtihad, maka saya katakana: “Pelafalan sunah juga
merupakan hasil ijtihad.”
Jadi
mana yang bid’ah? Melafalkan niat ataukah membagi tauhid menjadi tiga? Jawab
wahai wahabiyun!!!
trimakasih penjelasanx ustad, ana udh ckup lama mncari ini.
ReplyDelete