1.
Ilustrasi Dialog Seputar Bid’ah
Wahabi:
“Anda tahu bahwa tahlilan itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat. Setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.”
Kang
Santri: “Memang benar, Rosululloh SAW,
sahabat dan ulama salaf tidak pernah tahlilan seperti tahlilan yang ada
sekarang. Jadi tahlilan adalah bid’ah. Namun karena bacaan tahlilan bagus
(hasanah) , maka tahlilan termasuk bid’ah hasanah.”
Wahabi: “Bid’ah tidak boleh dibagi. Sebab Nabi bersabda “kullu bid’ah
dlolalah”. Setiap bid’ah adalah sesat. Hanya orang sesat yang membagi
bid’ah.”
Kang
Santri: “Bagaimana jika yang membagi
bid’ah ulama ente sendiri? Apakah berarti ulama ente sesat?”
Wahabi: “Anda jangan menfitnah ulama kami. Ulama kami tidak ada yang
membagi bid’ah.”
Kang
Santri: “Ah, itu kan hanya anggapan ente
saja. Pada kenyatannya ulama ente membagi bid’ah.”
Wahabi: “Silahkan sebutkan, siapa nama ulama kami yang membagi bid’ah!”
Kang
Santri: “Ulama ente yang bernama Syekh Utsaimin
membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah agama dan bid’ah dunia. Apakah Utsaimin sesat
karena telah membagi bid’ah?”
Wahabi: “Syekh Utsaimin tidak sesat. Sebab, pembagian bid’ah yang beliau
lakukan sesuai dengan sabda Nabi SAW, yakni: “Antum a’lamu biddunyakum”.
Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian. Jadi membagi bid’ah menjadi
bid’ah agama dan bid’ah dunia tidak apa-apa. Yang tidak boleh adalah membagi
bid’ah dalam agama menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.”
Kang
Santri: “Berarti bid’ah boleh dibagi
dong?”
Wahabi: “Iya, boleh.”
Kang
Santri: “Ucapan ente ini, bertentangan
dengan ucapan ente yang tadi. Tadi ente bilang; bid’ah tidak boleh dibagi.
Hanya orang sesat yang membagi bid’ah. Namun sekarang ente bilang; bid’ah
boleh dibagi. Apakah ini merupakan pengakuan bahwa ente sesat?
Wahabi: “Saya tidak sesat. Saya hanya berdakwah menyebarkan sunah dan
memurnikan tauhid. Justru yang sesat adalah anda. Anda tidak mengamalkan hadits
Nabi. Dalam hadits, Nabi bersabda: Setiap bid’ah adalah sesat. Namun anda malah
menentang sabda beliau. Anda mengatakan bahwa bid’ah adalah hasanah.
Kang
Santri: “Saya tidak mengatakan semua
bid’ah hasanah. Yang saya katakan adalah bid’ah ada dua, bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah. Yang sesat adalah bid’ah sayyi’ah.”
Wahabi: “Tetap saja anda menentang Nabi. Sebab anda menyebut bid’ah
hasanah. Anda tahu, bahwa orang yang menentang Nabi berarti ia kafir. Jadi anda
kafir.”
Kang
Santri: “Saya bukan orang kafir. Sekarang
begini, bagaimana jika yang menyebut bid’ah hasanah adalah ulama ente sendiri?
Apakah berarti ulama ente kafir?”
Wahabi: “Anda jangan menfitnah ulama kami. Ulama kami tidak ada yang
mengatakan bid’ah hasanah. Mereka sepakat bahwa semua bid’ah dalam masalah
agama adalah sesat.”
Kang
Santri: “Ah, itu kan hanya hayalan ente
saja. Pada kenyataannya ulama ente mengakui adanya bid’ah hasanah.”
Wahabi: “Harus berapa kali saya bilang kepada anda, jangan menfitnah
ulama kami. Silahkan buktikan ucapan anda itu!”
Kang
Santri: “Ok! Saya akan membuktikannya.
Tapi kita harus membuat kesepakatan terlebih dahulu. Jika saya bisa
membuktikannya, berarti ulama wahabi sesat. Gimana? Dealkah?”
Wahabi: “ya, deal”
Kang
Santri: “Ketika membahas masalah bid’ah
agama, Syekh Utsaimin mengatakan adanya bid’ah yang sesuai dengan al-kitab dan
assunah. Silahkan cek dalam kitab Al-Aqidah Al-Wasathiyah, hlm. 639-640.
Sesuatu
yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunah menunjukan bahwa ia adalah hal yang
baik. Dalam bahasa arab sesuatu yang baik disebut hasanah. Dengan demikian
bid’ah dalam agama yang sesuai dengan al-kitab dan as-sunah adalah bid’ah
hasanah. Gimana? Apakah ulama wahabi sesat karena telah menyebut bid’ah
hasanah?”
Wahabi: “Itukan hanya pemahaman anda yang batil. Syekh Utsaimin tidak
mengatakan bid’ah hasanah.”
Kang
Santri: “Kalau begitu tolong jelaskan
kepada saya, maksud ucapan Utsaimin tentang bid’ah yang sesuai dengan alkitab
dan assunah. Silahkan, pak!”
Wahabi: “Bid’ah yang sesuai dengan alkitab dan assunah, bukan bid’ah
hasanah, melainkan maslahah mursalah.”
Kang
Santri: “Ente tahu, apa itu maslahah
mursalah?”
Wahabi: “Tau. Maslahah mursalah adalah kebaikan secara bebas.”
Kang
Santri: “pkikikikik… itu kan
terjemahannya. Yang saya tanyakan bukan terjemahannya. Melainkan pengertian maslahah
mursalah.”
Wahabi: “Saya tidak tahu. Namun kata dosen saya di universitas saudi,
maslahah mursalah boleh. Tetapi bid’ah hasanah tidak boleh.”
Kang
Santri: “oh, jadi ente hanya bertaqlid pada
dosen ente. Lalu mengapa ente melarang kami taqlid sama Mbah Kyai dan menuduh
kami telah menuhankan Kyai. Padahal ente sendiri bertaqlid pada dosen ente.
Apakah ente telah menuhankan dosen ente?
Wahabi: “Sudahlah! anda jangan muter-muter. Jelaskan saja, apa itu
maslahah mursalah?”
Kang
Santri: “Lho, ente kok malah mengembalikan
pertanyaan ane. Gimana tho pak (he..he..he) Tapi baiklah, saya akan jelaskan.
Maslahah mursalah adalah metode yang digunakan oleh Imam Malik dalam menghadapi
permasalahan yang tidak ada dalilnya dari al-qur’an, hadits dan ijma’.
Untuk
masalah yang tidak ada dalilnya, Imam Malik menjadikan “kebaikan secara bebas”
sebabagai dasar untuk menetapkan hukum. Jika ente mengakui keabsahan maslahah
mursalah, sama saja ente mengakui sesuatu yang tidak ada dalilnya. Seharusnya
ente tidak menyalahkan tahlilan hanya karena tidak ada dalilnya.”
2.
Ilustrasi Dialog Seputar Bid’ah Hasanah Fersi Ibn Taimiiyah
Wahabi: “Anda jangan ber-retorika dengan kata-kata anda. Tadi anda mengatakan
bahwa Syekh Utsaimin membagi bid’ah. Ternyata beliau tidak menyebut bid’ah
hasanah. Anda hanya memelintir ucapan beliau untuk dipaksakan agar cocok dengan
hawa nafsu anda. Berarti anda menfitnah beliau. Yang jelas saja, siapa nama
ulama kami yang menyebut bid’ah hasanah?
Kang
Santri: “Jika ane bisa menunjukannya,
apakah ente akan mengakui adanya bid’ah hasanah?
Wahabi: “Iya. Tapi jika anda bohong dan memelintir ucapan ulama kami,
berarti anda sesat.”
Kang
Santri: “Ok! Bos. Ketika membahas masalah
bid’ah, Ibn Taimiyah berkata:
وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة لقول عمر
نعمت البدعة هذه . هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده الصحيح في المدخل (إبن
تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )
“Bid’ah
yang tidak bertentangan dengan semua itu, maka bid’ah ini terkadang hasanah
sebab ucapan Umar RA “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”. Ucapan ini dan yang
serupa diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shohih dalam kitab al-madkhol.
(Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawi, Juz 20, hlm 127). Jadi Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.”
Wahabi: “Perkataan Ibn Taimiyyah yang merujuk pada perkataan Umar Ra,
tidaklah bisa langsung anda fahami berarti dengan ini boleh mengadakan bid’ah.
Sebab, terawih bukan bid’ah. Melainkan sunah. Jadi yang dimaksud bid’ah hasanah
oleh beliau adalah menghidupkan sunah.”
Kang
Santri: “pkikikikik…. Kepahaman ente
sangat kacau, pak. Bagaimana bisa terawih disebut sebagai bid’ah hasanah?
Rosululloh SAW pernah melakukan terawih. Jadi terawih adalah sunah. dengan
demikian bid’ah hasanah yang dimaksud oleh Ibn Taimiyyah bukan terawih. Sebab
terawih bukan bid’ah melainkan sunah.
Pemahaman
ente bahwa ucapan Ibn Taimiyyah tidak mengarah pada diperbolehkannya membuat
bid’ah, bertentangan dengan Ibn taimiyah yang menciptakan bid’ah. Bid’ah
ciptaan Ibn Taimiyyah adalah cara dan waktu dzikir yang menjadi rutinitasnya
sebagai mana yang tetera dalam manaqib ibn taimiyah.
Kebiasaan
Ibn Taimiyyah telah maklum. Ia sulit diajak bicara setelah sholat subuh kecuali
terpaksa. Di tengah-tengah dzikir itu, Ibn Taimiyyah seringkali menatapkan
pandangannya ke langit.
Apakah
saat berdzikir Rosululloh SAW pernah menatapkan pandangan ke langit? Jika iya,
silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak, berarti apa yang dilakukan oleh Ibn
Taimiyyah adalah murni bid’ah yang dia ciptakan?
Kebiasaan
Ibn Taimiyah yang lain adalah membaca Fatihah dan mengulang-ulangnya dari fajar
hingga matahari naik. Rosululloh SAW dan sahabat, tidak pernah melakukan hal
itu. Apakah Ibn Taimiyyah sesat karena telah menciptakan amalan bid’ah?
3.
Ilustrasi Dialog Seputar Tahlilan
Wahabi: “Saya tidak berani mengomentari amalan Ibn Taimiyyah karena saya
tidak memiliki kapasitas untuk itu.”
Kang
Santri: “Bagus kalau ente mengakuinya.
Dengan demikian ente tidak memiliki hak untuk mengomentari tahlilan. Sebab,
ente tidak memiliki kapasitas.
Wahabi: “Anda jangan memelintir ucapan saya. Saya hanya mengatakan tidak
memiliki kapasitas dalam amalan Syeikhul islam Ibn Taimiyyah. Dan untuk
tahlilan, saya memiliki kapasitas untuk mengomentarinya.”
Kang
Santri: “Kalau begitu, tolong jelaskan
kepada saya, apa itu tahlilan yang ente pahami!”
Wahabi: “Tahlilan adalah sebuah ritual merayakan kematian dengan
mendatangi rumah duka untuk menyantap makanan dan minuman.”
Kang
Santri: “ha..ha..ha.. Yang ente sebutkan
itu bukan tahlilan, pak. Yang namanya tahlilan adalah kegiatan membaca surat
al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi,
istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh). Dari
bacaan-bacaan tersebut, bacaan mana yang bid’ah dan sesat?”
Wahabi: “Bacaan-bacaan itu bagus. Yang bid’ah dan sesat adalah penghususan
waktu pelaksanaannya pada hari ke 3, 7, 40 dan seterusnya setelah kematian.”
Kang
Santri: “Kita sepakat bahwa Bacaan-bacaan
itu bagus. Apakah ente pernah membacanya?”
Wahabi: “Pernah.”
Kang
Santri: “Kapan?”
Wahabi: “Saya tidak menghususkan waktu pelaksanaannya.”
Kang
Santri: “Tampaknya ente tidak bisa
memahami pertanyaan saya. begini, pak: Ente bilang bahwa ente pernah membaca
bacaan tahlilan. Saya tanya, kapan ente membacanya?”
Wahabi: “Setelah sholat fardhu dan sebelum tidur. Tapi saya tidak
menghususkan waktu pelaksanaannya pada waktu-waktu tersebut.”
Kang
Santri: “Begitu pula tahlilan. Pelaksanaannya
tidak dihususkan pada hari ke 3, 7, 40 dan seterusnya setelah kematian. Kapan
saja boleh tahlilan sesuai dengan kesempatan masing-masing individu.”
Wahabi: “Anda mau menutupi fakta!
Kang
Santri: “Saya tidak menutupi fakta. Melainkan
ente yang tidak memahami realitas masyarakat dalam mengamalkan tahlilan. Waktu
pelaksanaan tahlilan berbeda-beda. Ada yang malam senin. Ada yang malam selasa.
Ada yang malam rabu. Ada yang malam kamis dan lain-lain. Ada juga yang setiap
hari. Ini menunjukan bahwa waktu tahlilan tidaklah dihusukan.”
4.
Ilustrasi Dialog Tentang Tradisi/Adat.
Wahabi: “Tapi anda melaksanakan selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan
1000 setelah kematian. Padahal selametan pada hari-hari tersebut merupakan
ajaran dan kewajiban dalam agama hindu. Berarti anda telah tasyabuh bilkufar.
Menyerupai orang kafir merupakan larangan agama.”
Kang
Santri: “Kata siapa itu ajaran hindu?”
Wahabi: “Kata ustad Abdul Aziz. Dia mantan pendeta hindu.”
Kang
Santri: “Katrok ente. Ente ketinggalan
informasi. Pernyataan Abdul Aziz telah dibantah oleh orang hindu sendiri
melalui website milik hindu di www.portalhindu.com.
Dalam
artikel berjudul “Menggugat Kesaksian Ustadz
Ida Bagus Abdul Aziz”, Sisya Grya Taman Narmada mengatakan bahwa selametan pada
hari-hari tersebut bukan ajaran hindu. Juga bukan kewajiban dalam agama hindu.
Melainkan hanya tradisi. Jadi selametan pada hari-hari tersebut bukan tasyabuh
bilkufar, melainkan mengikuti tradisi.”
Wahabi:
“Berarti anda menjadikan tradisi sebagai dasar agama. Apa anda meragukan
kesempurnaan agama islam sehingga anda menjadikan tradisi sebagai dasar agama?”
Kang Santri:
“Ane tidak meragukan kesempurnaan islam. Justru ane sangat yakin bahwa islam
sangat sempurna. Perintah dan larangannya telah lengkap. Tidak perlu dikurangi
dan ditambahi.”
Sekarang ane tanya: tunjukan satu
dalil dari ayat ilahi atau sabda nabi yang melarang selametan pada hari-hari
tersebut. Apakah Nabi pernah bersabda: “Janganlah mengadakan selametan pada
hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian?”
Wahabi:
“Tidak ada.”
Kang Santri:
“Lalu mengapa ente melarang selametan pada hari-hari tersebut? Apakah ente meragukan
kesempurnaan agama islam sehingga ente menambah larangan agama?”
Wahabi:
“Pokoknya, acara selametan pada hari-hari tersebut bid’ah dan sesat.”
Kang Santri:
“Halah, malah balik ke masalah bid’ah lagi. Weleh-weleh. Kalo mau bahas soal
bid’ah, silahkan ente balik lagi ke atas sonoh-noh,, (he..he..he..)
Wahabi:
“Pokoknya adat tidak bisa dijadikan sebagai sumber agama.”
Kang Santri:
“Katrok ente. Ente ketinggalan informasi. Heran, di tahun 2013 masih ada orang
yang ketinggalan informasi.”
Wahabi:
“Kok bisa begitu? Bukankah saya berdakwah menyebarkan sunah dan memurnikan
tauhid?”
Kang Santri:
“Begini: apakah ente mengakui kapasitas ulama fiqih?”
Wahabi:
“Iya. Saya mengakui dan yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang memahami
agama.”
Kang Santri: “Apakah
ente mengakui kebenaran kaidah-kaidah yang mereka rakit.”
Wahabi:
“Tentu saja. Sebab mereka adalah pewaris ilmu para Nabi. Saya juga memakai
kaidah yang mereka rakit.”
Kang Santri:
“Bagus kalau begitu. Para ulama fiqih
menyusun sebuah kaidahyakni العادة محكمة (Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum). Cabang dari kaidah ini
adalah:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Artinya: “Apa yang biasa
diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib
diamalkan.”
Kesimpulannya:
kita boleh mengikuti tradisi dan bahkan wajib selama tradisi tersebut tidak
bertentangan dengan syari’at.
Apakah
tradisi selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian,
bertenatangan dengan syari’at? Ternyata tidak ada satu dalilpun yang mengharamkan
selametan pada hari-hari tersebut. Tidak ada ayat ataupun hadits yang melarang
kita melakukannya.
Dengan
demikian, tradisi selametan boleh kita teruskan dengan melakukan hal-hal yang
disyari’atkan seperti tahlilan, membaca al-qur’an atau berdoa dan bersedekah
yang pahalanya dikirimkan untuk mayyit. Paham pak??!
Wahabi: “Oh, gitu ya. Berarti selama ini saya mengikuti manhaj wahabi
yang katrok.”
Upin
ipinmenyahut:
“betul…betul…betul… (he..he..he..)”
Dinukil dari buku "Tahlilan Itu Bid'ah". Silahkan download bukunya di http://www.4shared.com/office/-H8o3SYw/Tahilan_Itu_Bidah.html
Dinukil dari buku "Tahlilan Itu Bid'ah". Silahkan download bukunya di http://www.4shared.com/office/-H8o3SYw/Tahilan_Itu_Bidah.html
santri kang santri
ReplyDelete