Thursday 27 June 2013

Dialog Seputar Tahlilan Kang Santri Vs Wahabi

1.      Ilustrasi Dialog Seputar Bid’ah

Wahabi: “Anda tahu bahwa tahlilan itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.”

Kang Santri: “Memang benar, Rosululloh SAW, sahabat dan ulama salaf tidak pernah tahlilan seperti tahlilan yang ada sekarang. Jadi tahlilan adalah bid’ah. Namun karena bacaan tahlilan bagus (hasanah) , maka tahlilan termasuk bid’ah hasanah.”

Wahabi: “Bid’ah tidak boleh dibagi. Sebab Nabi bersabda “kullu bid’ah dlolalah”. Setiap bid’ah adalah sesat. Hanya orang sesat yang membagi bid’ah.”

Kang Santri: “Bagaimana jika yang membagi bid’ah ulama ente sendiri? Apakah berarti ulama ente sesat?”

Wahabi: “Anda jangan menfitnah ulama kami. Ulama kami tidak ada yang membagi bid’ah.”

Kang Santri: “Ah, itu kan hanya anggapan ente saja. Pada kenyatannya ulama ente membagi bid’ah.”

Wahabi: “Silahkan sebutkan, siapa nama ulama kami yang membagi bid’ah!”

Kang Santri: “Ulama ente yang bernama Syekh Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah agama dan bid’ah dunia. Apakah Utsaimin sesat karena telah membagi bid’ah?”

Wahabi: “Syekh Utsaimin tidak sesat. Sebab, pembagian bid’ah yang beliau lakukan sesuai dengan sabda Nabi SAW, yakni: “Antum a’lamu biddunyakum”. Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian. Jadi membagi bid’ah menjadi bid’ah agama dan bid’ah dunia tidak apa-apa. Yang tidak boleh adalah membagi bid’ah dalam agama menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.”

Kang Santri: “Berarti bid’ah boleh dibagi dong?”

Wahabi: “Iya, boleh.”

Kang Santri: “Ucapan ente ini, bertentangan dengan ucapan ente yang tadi. Tadi ente bilang; bid’ah tidak boleh dibagi. Hanya orang sesat yang membagi bid’ah. Namun sekarang ente bilang; bid’ah boleh dibagi. Apakah ini merupakan pengakuan bahwa ente sesat?

Wahabi: “Saya tidak sesat. Saya hanya berdakwah menyebarkan sunah dan memurnikan tauhid. Justru yang sesat adalah anda. Anda tidak mengamalkan hadits Nabi. Dalam hadits, Nabi bersabda: Setiap bid’ah adalah sesat. Namun anda malah menentang sabda beliau. Anda mengatakan bahwa bid’ah adalah hasanah.

Kang Santri: “Saya tidak mengatakan semua bid’ah hasanah. Yang saya katakan adalah bid’ah ada dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Yang sesat adalah bid’ah sayyi’ah.”

Wahabi: “Tetap saja anda menentang Nabi. Sebab anda menyebut bid’ah hasanah. Anda tahu, bahwa orang yang menentang Nabi berarti ia kafir. Jadi anda kafir.”

Kang Santri: “Saya bukan orang kafir. Sekarang begini, bagaimana jika yang menyebut bid’ah hasanah adalah ulama ente sendiri? Apakah berarti ulama ente kafir?”

Wahabi: “Anda jangan menfitnah ulama kami. Ulama kami tidak ada yang mengatakan bid’ah hasanah. Mereka sepakat bahwa semua bid’ah dalam masalah agama adalah sesat.”

Kang Santri: “Ah, itu kan hanya hayalan ente saja. Pada kenyataannya ulama ente mengakui adanya bid’ah hasanah.”

Wahabi: “Harus berapa kali saya bilang kepada anda, jangan menfitnah ulama kami. Silahkan buktikan ucapan anda itu!”

Kang Santri: “Ok! Saya akan membuktikannya. Tapi kita harus membuat kesepakatan terlebih dahulu. Jika saya bisa membuktikannya, berarti ulama wahabi sesat. Gimana? Dealkah?”

Wahabi: “ya, deal”

Kang Santri: “Ketika membahas masalah bid’ah agama, Syekh Utsaimin mengatakan adanya bid’ah yang sesuai dengan al-kitab dan assunah. Silahkan cek dalam kitab Al-Aqidah Al-Wasathiyah, hlm. 639-640.
Sesuatu yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunah menunjukan bahwa ia adalah hal yang baik. Dalam bahasa arab sesuatu yang baik disebut hasanah. Dengan demikian bid’ah dalam agama yang sesuai dengan al-kitab dan as-sunah adalah bid’ah hasanah. Gimana? Apakah ulama wahabi sesat karena telah menyebut bid’ah hasanah?”

Wahabi: “Itukan hanya pemahaman anda yang batil. Syekh Utsaimin tidak mengatakan bid’ah hasanah.”

Kang Santri: “Kalau begitu tolong jelaskan kepada saya, maksud ucapan Utsaimin tentang bid’ah yang sesuai dengan alkitab dan assunah. Silahkan, pak!”

Wahabi: “Bid’ah yang sesuai dengan alkitab dan assunah, bukan bid’ah hasanah, melainkan maslahah mursalah.”

Kang Santri: “Ente tahu, apa itu maslahah mursalah?”

Wahabi: “Tau. Maslahah mursalah adalah kebaikan secara bebas.”

Kang Santri: “pkikikikik… itu kan terjemahannya. Yang saya tanyakan bukan terjemahannya. Melainkan pengertian maslahah mursalah.”

Wahabi: “Saya tidak tahu. Namun kata dosen saya di universitas saudi, maslahah mursalah boleh. Tetapi bid’ah hasanah tidak boleh.”

Kang Santri: “oh, jadi ente hanya bertaqlid pada dosen ente. Lalu mengapa ente melarang kami taqlid sama Mbah Kyai dan menuduh kami telah menuhankan Kyai. Padahal ente sendiri bertaqlid pada dosen ente. Apakah ente telah menuhankan dosen ente?

Wahabi: “Sudahlah! anda jangan muter-muter. Jelaskan saja, apa itu maslahah mursalah?”

Kang Santri: “Lho, ente kok malah mengembalikan pertanyaan ane. Gimana tho pak (he..he..he) Tapi baiklah, saya akan jelaskan. Maslahah mursalah adalah metode yang digunakan oleh Imam Malik dalam menghadapi permasalahan yang tidak ada dalilnya dari al-qur’an, hadits dan ijma’.

Untuk masalah yang tidak ada dalilnya, Imam Malik menjadikan “kebaikan secara bebas” sebabagai dasar untuk menetapkan hukum. Jika ente mengakui keabsahan maslahah mursalah, sama saja ente mengakui sesuatu yang tidak ada dalilnya. Seharusnya ente tidak menyalahkan tahlilan hanya karena tidak ada dalilnya.”

2.      Ilustrasi Dialog Seputar Bid’ah Hasanah Fersi Ibn Taimiiyah

Wahabi: “Anda jangan ber-retorika dengan kata-kata anda. Tadi anda mengatakan bahwa Syekh Utsaimin membagi bid’ah. Ternyata beliau tidak menyebut bid’ah hasanah. Anda hanya memelintir ucapan beliau untuk dipaksakan agar cocok dengan hawa nafsu anda. Berarti anda menfitnah beliau. Yang jelas saja, siapa nama ulama kami yang menyebut bid’ah hasanah?

Kang Santri: “Jika ane bisa menunjukannya, apakah ente akan mengakui adanya bid’ah hasanah?

Wahabi: “Iya. Tapi jika anda bohong dan memelintir ucapan ulama kami, berarti anda sesat.”

Kang Santri: “Ok! Bos. Ketika membahas masalah bid’ah, Ibn Taimiyah berkata:
وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه . هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده الصحيح في المدخل (إبن تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )

“Bid’ah yang tidak bertentangan dengan semua itu, maka bid’ah ini terkadang hasanah sebab ucapan Umar RA “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”. Ucapan ini dan yang serupa diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shohih dalam kitab al-madkhol. (Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawi, Juz 20, hlm 127). Jadi Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.”

Wahabi: “Perkataan Ibn Taimiyyah yang merujuk pada perkataan Umar Ra, tidaklah bisa langsung anda fahami berarti dengan ini boleh mengadakan bid’ah. Sebab, terawih bukan bid’ah. Melainkan sunah. Jadi yang dimaksud bid’ah hasanah oleh beliau adalah menghidupkan sunah.”

Kang Santri: “pkikikikik…. Kepahaman ente sangat kacau, pak. Bagaimana bisa terawih disebut sebagai bid’ah hasanah? Rosululloh SAW pernah melakukan terawih. Jadi terawih adalah sunah. dengan demikian bid’ah hasanah yang dimaksud oleh Ibn Taimiyyah bukan terawih. Sebab terawih bukan bid’ah melainkan sunah.

Pemahaman ente bahwa ucapan Ibn Taimiyyah tidak mengarah pada diperbolehkannya membuat bid’ah, bertentangan dengan Ibn taimiyah yang menciptakan bid’ah. Bid’ah ciptaan Ibn Taimiyyah adalah cara dan waktu dzikir yang menjadi rutinitasnya sebagai mana yang tetera dalam manaqib ibn taimiyah.

Kebiasaan Ibn Taimiyyah telah maklum. Ia sulit diajak bicara setelah sholat subuh kecuali terpaksa. Di tengah-tengah dzikir itu, Ibn Taimiyyah seringkali menatapkan pandangannya ke langit.

Apakah saat berdzikir Rosululloh SAW pernah menatapkan pandangan ke langit? Jika iya, silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak, berarti apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah adalah murni bid’ah yang dia ciptakan?

Kebiasaan Ibn Taimiyah yang lain adalah membaca Fatihah dan mengulang-ulangnya dari fajar hingga matahari naik. Rosululloh SAW dan sahabat, tidak pernah melakukan hal itu. Apakah Ibn Taimiyyah sesat karena telah menciptakan amalan bid’ah?

3.      Ilustrasi Dialog Seputar Tahlilan

Wahabi: “Saya tidak berani mengomentari amalan Ibn Taimiyyah karena saya tidak memiliki kapasitas untuk itu.”

Kang Santri: “Bagus kalau ente mengakuinya. Dengan demikian ente tidak memiliki hak untuk mengomentari tahlilan. Sebab, ente tidak memiliki kapasitas.

Wahabi: “Anda jangan memelintir ucapan saya. Saya hanya mengatakan tidak memiliki kapasitas dalam amalan Syeikhul islam Ibn Taimiyyah. Dan untuk tahlilan, saya memiliki kapasitas untuk mengomentarinya.”

Kang Santri: “Kalau begitu, tolong jelaskan kepada saya, apa itu tahlilan yang ente pahami!”

Wahabi: “Tahlilan adalah sebuah ritual merayakan kematian dengan mendatangi rumah duka untuk menyantap makanan dan minuman.”

Kang Santri: “ha..ha..ha.. Yang ente sebutkan itu bukan tahlilan, pak. Yang namanya tahlilan adalah kegiatan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh). Dari bacaan-bacaan tersebut, bacaan mana yang bid’ah dan sesat?”

Wahabi: “Bacaan-bacaan itu bagus. Yang bid’ah dan sesat adalah penghususan waktu pelaksanaannya pada hari ke 3, 7, 40 dan seterusnya setelah kematian.”

Kang Santri: “Kita sepakat bahwa Bacaan-bacaan itu bagus. Apakah ente pernah membacanya?”

Wahabi: “Pernah.”

Kang Santri: “Kapan?”

Wahabi: “Saya tidak menghususkan waktu pelaksanaannya.”

Kang Santri: “Tampaknya ente tidak bisa memahami pertanyaan saya. begini, pak: Ente bilang bahwa ente pernah membaca bacaan tahlilan. Saya tanya, kapan ente membacanya?”

Wahabi: “Setelah sholat fardhu dan sebelum tidur. Tapi saya tidak menghususkan waktu pelaksanaannya pada waktu-waktu tersebut.”

Kang Santri: “Begitu pula tahlilan. Pelaksanaannya tidak dihususkan pada hari ke 3, 7, 40 dan seterusnya setelah kematian. Kapan saja boleh tahlilan sesuai dengan kesempatan masing-masing individu.”

Wahabi: “Anda mau menutupi fakta!

Kang Santri: “Saya tidak menutupi fakta. Melainkan ente yang tidak memahami realitas masyarakat dalam mengamalkan tahlilan. Waktu pelaksanaan tahlilan berbeda-beda. Ada yang malam senin. Ada yang malam selasa. Ada yang malam rabu. Ada yang malam kamis dan lain-lain. Ada juga yang setiap hari. Ini menunjukan bahwa waktu tahlilan tidaklah dihusukan.”

4.      Ilustrasi Dialog Tentang Tradisi/Adat.

Wahabi: “Tapi anda melaksanakan selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 setelah kematian. Padahal selametan pada hari-hari tersebut merupakan ajaran dan kewajiban dalam agama hindu. Berarti anda telah tasyabuh bilkufar. Menyerupai orang kafir merupakan larangan agama.”

Kang Santri: “Kata siapa itu ajaran hindu?”

Wahabi: “Kata ustad Abdul Aziz. Dia mantan pendeta hindu.”

Kang Santri: “Katrok ente. Ente ketinggalan informasi. Pernyataan Abdul Aziz telah dibantah oleh orang hindu sendiri melalui website milik hindu di www.portalhindu.com.

Dalam artikel berjudul “Menggugat Kesaksian Ustadz  Ida Bagus Abdul Aziz”, Sisya Grya Taman Narmada mengatakan bahwa selametan pada hari-hari tersebut bukan ajaran hindu. Juga bukan kewajiban dalam agama hindu. Melainkan hanya tradisi. Jadi selametan pada hari-hari tersebut bukan tasyabuh bilkufar, melainkan mengikuti tradisi.”

Wahabi: “Berarti anda menjadikan tradisi sebagai dasar agama. Apa anda meragukan kesempurnaan agama islam sehingga anda menjadikan tradisi sebagai dasar agama?”

Kang Santri: “Ane tidak meragukan kesempurnaan islam. Justru ane sangat yakin bahwa islam sangat sempurna. Perintah dan larangannya telah lengkap. Tidak perlu dikurangi dan ditambahi.”

Sekarang ane tanya: tunjukan satu dalil dari ayat ilahi atau sabda nabi yang melarang selametan pada hari-hari tersebut. Apakah Nabi pernah bersabda: “Janganlah mengadakan selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian?”

Wahabi: “Tidak ada.”

Kang Santri: “Lalu mengapa ente melarang selametan pada hari-hari tersebut? Apakah ente meragukan kesempurnaan agama islam sehingga ente menambah larangan agama?”

Wahabi: “Pokoknya, acara selametan pada hari-hari tersebut bid’ah dan sesat.”

Kang Santri: “Halah, malah balik ke masalah bid’ah lagi. Weleh-weleh. Kalo mau bahas soal bid’ah, silahkan ente balik lagi ke atas sonoh-noh,, (he..he..he..)

Wahabi: “Pokoknya adat tidak bisa dijadikan sebagai sumber agama.”

Kang Santri: “Katrok ente. Ente ketinggalan informasi. Heran, di tahun 2013 masih ada orang yang ketinggalan informasi.”

Wahabi: “Kok bisa begitu? Bukankah saya berdakwah menyebarkan sunah dan memurnikan tauhid?”

Kang Santri: “Begini: apakah ente mengakui kapasitas ulama fiqih?”

Wahabi: “Iya. Saya mengakui dan yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang memahami agama.”

Kang Santri: “Apakah ente mengakui kebenaran kaidah-kaidah yang mereka rakit.”

Wahabi: “Tentu saja. Sebab mereka adalah pewaris ilmu para Nabi. Saya juga memakai kaidah yang mereka rakit.”

Kang Santri: “Bagus kalau begitu. Para ulama fiqih menyusun  sebuah kaidahyakni   العادة محكمة (Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum).  Cabang dari kaidah ini adalah:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan.”

Kesimpulannya: kita boleh mengikuti tradisi dan bahkan wajib selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan syari’at.

Apakah tradisi selametan pada hari ke 3, 7, 40, 100 dan 1000 setelah kematian, bertenatangan dengan syari’at? Ternyata tidak ada satu dalilpun yang mengharamkan selametan pada hari-hari tersebut. Tidak ada ayat ataupun hadits yang melarang kita melakukannya.

Dengan demikian, tradisi selametan boleh kita teruskan dengan melakukan hal-hal yang disyari’atkan seperti tahlilan, membaca al-qur’an atau berdoa dan bersedekah yang pahalanya dikirimkan untuk mayyit. Paham pak??!

Wahabi: “Oh, gitu ya. Berarti selama ini saya mengikuti manhaj wahabi yang katrok.”


Upin ipinmenyahut: “betul…betul…betul… (he..he..he..)”

Dinukil dari buku "Tahlilan Itu Bid'ah". Silahkan download bukunya di  http://www.4shared.com/office/-H8o3SYw/Tahilan_Itu_Bidah.html

1 comment:



 
Support : Qosim Ibn Aly | Islamic Defenders Community
Copyright © 2013. Golek Surgo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Aliy Faizal
Proudly powered by Blogger