Tuesday 6 August 2013

Kaidah Kuliyah Dalam Memahami Bid'ah Dholalah

Saya pernah melihat sebuah acara di TV rodja. Dalam acara itu diadakan Tanya jawab. Salah satu penanya menanyakan prihal penggunaan kalam Umar RA, sebaik-baik bid’ah adalah ini  sebagai dalil bid’ah hasanah. Saya lupa nama acara dan nara sumbernya. Namun yang jelas saat itu nara sumber menjawab bahwa ucapan Umar Ra tidak bisa dijadikan sebagai dalil adanya bid’ah hasanah.

Setelah memuji Umar Ra sebagai sahabat yang sangat memahami bahasa arab, kemudian ia mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Umar Ra adalah suasana ramai jama’ah tarowih. Jadi seolah-olah beliau mengatakan alangkah indahnya ini.

Saya kira itu merupakan jawaban yang terlalu gegabah. Sebab pada kenyataannya Imam Syafi’i dan lain-lain menggunakan ucapan Umar Ra sebagai dalil adanya bid’ah hasanah. Bahkan Ibn Taimiyah pun menukil kalam Imam Syafi’I sebagaimana yang akan saya nukil nanti, Insya Alloh.

Salafi/wahabi menganggap bahwa ucapan Umar Ra itu bertentangan dengan sabda Nabi SAW, yakni kullu bid’ah dholalah. Jika nabi telah menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, bagaimana mungkin Umar Ra mengatakan adanya bid’ah hasanah?

Tanggapan saya:

Sebenarnya ucapan Umar Ra sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW manakala kita mau memahaminya dengan baik. Ketahuilah bahwa yang dikomentari oleh Umar Ra bukanlah jama’ah tarowihnya. Bagaimana mungkin jama’ah tarowih disebut sebagai bid’ah sedangkan Nabi SAW dan para sahabat pernah melakukannya walaupun hanya tiga hari.

Nabi SAW pernah sholat pada malam ramadhan di masjid Nabawi. Kemudian para sahabat ikut sholat sebagai makmum. Kejadian tersebut berlangsung hingga tiga hari. Pada hari keempat Rosulluloh SAW tidak sholat dimasjid melainkan di rumah. Hal ini karena beliau hawatir sholat tarowih secara berjama’ah akan di wajibkan.

Meski Rosululloh SAW melaksanakan sholat tarowih di rumah namun para sahabat masih melakukannya. Sebagian ada yang berjama’ah dan sebagian yang lain ada yang sholat sendiri-sendiri.

Hal tersebut terus berlangsung hingga jaman Abu Bakar Ra. Ini menunjukan bahwa sholat tarowih secara jama’ah telah ada dijaman Nabi SAW dan jaman Abu Bakar Ra. Ketika Umar Ra menjabat sebagai kholifah, beliau memiliki keinginan untuk menyatukan orang-orang pada satu Imam. Ahirnya rencana tersebut terealisasikan.

Apakah Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ra pernah memerintah sahabat untuk melaksanakan tarowih secara berjama’ah? Jawabannya adalah tidak pernah. Sholat tarowih berjama’ah yang terjadi dijaman Nabi SAW bukan atas printah Nabi. Melainkan inisiatif para sahabat untuk berjma’ah dengan Nabi.

Oleh karena Nabi SAW dan Abu Bakar Ra tidak pernah memerintah umat islam untuk sholat tarowih secara berjama’ah, maka ketika Umar Ra memerintah umat islam untuk sholat tarowih secara berjama’ah, beliau berkata: sebaik-baik bid’ah adalah ini.

Jadi yang beliau sebut bid’ah adalah perintah beliau. Perintah ini disebut bid’ah sebab Nabi SAW dan Abu Bakar tidak pernah mengeluarkan perintah tersebut. Namun karena tidak bertentangan dengan kitab dan sunah, maka perintah itu disebut sebaik-baik bid’ah.

Ini menjadi alasan mengapa Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua. Bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Bid’ah yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma’, dan atsar sebagian sehabat disebut bid’ah madzmumah. Bid’ah ini adalah sesat. Sedangkan bid’ah yang tidak bertentangan dengan hal-hal itu, maka ini adalah bid’ah yang terpuji sebab ucapan Umar Ra, sebaik-baik bid’ah adalah ini.

Ada beberapa komentar yang perlu saya tanggapi atas salafi/wahabi yang menolak penggunaan kalam Imam Syafi’I sebagai dalil adanya bid’ah hasanah. Mereka mengatakan bahwa riwayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil adanya bid’ah hasanah. Alasan yang mereka ajukan adalah pertama, mereka meragukan keshohihan riwayat tersebut dari Imam Syafi’i. Kedua, ucapan Umar RA tidak mengarah kepada bid’ah.

Tanggapan Saya

Pertama, Mengenai Sanad Riwayat.

Mengenai keraguan salafi/wahabi terhadap kesohihan riwayat tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan. Sebab Ibn Taimiyah sebagai salah satu ulama panutan salafi/wahabi mengatakan bahwa sanad riwayat tersebut shohih. Katanya:

هَذَا الْكَلَامُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ البيهقي بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ فِي الْمَدْخَلِ (مجموع الفتاوى ج 20 ص 163 )

Ucapan ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shohih dalam Mudkhol.

Mari kita simak teks lengkapnya.

ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه . هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده الصحيح في المدخل .

artinya: Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang mengada-adakan jalan atau I’tiqod dan mengira bahwa iman tidaklah sempurna kesuali dengan jalan tersebut serta mengetahui bahwa Rosul SAW tidak lah menyebutnya dan hal yang bertentangan dengan Nash maka kaum muslimin sepakat bahwa hal itu merupakan bid’ah sedangkan sesuatu yang tidak diketahui bahwa ia bertentangan dengan nash maka terkadang tidak disebut dengan bid’ah.

Imam Syafi’I berkata: Bid’ah ada dua. (pertama) Bid’ah yang bertentangan dengan kitab, sunah ijma’ dan astar sebagian sahabat maka ini adalah bid’ah dholalah. (kedua) Bid’ah yang tidak bertentangan dengan hal itu maka terkadang bagus sebab ucapan Umar Ra, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Ucapan ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shohih dalam mudkhol. (Majmu’Fatawi Juz 20 hlm 163 fersi Syamilah Ishdar Tsani)

Kedua: Ucapan Umar RA tidak mengarah kepada bid’ah.

Ada dua komentar yang berbeda dari salafi/wahabi mengenai hal ini. Namun tujuannya sama, yakni sama-sama menolak adanya bid’ah hasanah. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Umar Ra adalah bid’ah lughowi dan ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah maslahah mursalah. Dari sini kemudian mereka mengatakan bahwa aswaja telah menyalah gunakan kalam Imam Syafi’i.

Untuk mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah masalah mursalah, saya kira, ini merupakan komentar asal nyeplos. Sebab telah sama-sama kita ketahui bahwa masalahah mursalah dalam pandangan wahabi adalah bid’ah yang berkaitan dengan masalah dunia Sedangkan ucapan Umar Ra jelas-jelas mengomentari masalah agama.

Mengenai komentar mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bid’ah lughowi, saya kira ini hanya merupakan refleksi dari rasa gengsi untuk mengakui adanya bid’ah hasanah. Artinya penyebutan bid’ah lughowi hanya merupakan usaha untuk menghindar dari istilah bid’ah hasanah. Apapun itu yang jelas kita semua sepakat bahwa bid’ah memiliki dua kriteria yaitu bid’ah yang memiliki asal dari syari’at dan bid’ah yang tidak memiliki asal.

Inilah kaidah kuliah untuk menilai apakah suatu amalan bid’ah sesat ataukah tidak. Sebab semua sepakat bahwa bid’ah yang memiliki asal dari syariat, maka boleh diamalkan. Mereka semua juga sepakat bahwa bid’ah yang tidak memiliki asal, tidak boleh diamalkan.

Perbedaannya terletak pada penamaanya. Jika amalan tersebut masuk dalam urusan ibadah, maka  wahabi menyebutnya sebagai bid’ah lughowi, bukan bid’ah syar’i sehingga mereka tidak menamainya sebagai bid’ah. Namun jika amalan tersebut masuk kategori selain ibadah, maka mereka tidak menamainya sebagai bid’ah melainkan maslahah mursalah.


Sedangkan aswaja menamainya sebagai bid’ah hasanah, baik amalan itu masuk kategori ibadah maupuntidak. Disebut bid’ah karena tidak ada contoh sebelumnya. Disebut hasanah karena tidak bertentangan dengan kitab, sunah dan ijma’ serta berada dalam naungan syariat atau dengan kata lain amalan tersebut masuk dalam keumuman suatu dalil.

No comments:

Post a Comment



 
Support : Qosim Ibn Aly | Islamic Defenders Community
Copyright © 2013. Golek Surgo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Aliy Faizal
Proudly powered by Blogger