Monday 1 July 2013

Penjelasan Hukum Pelafalan Niat

Bagaimana Hukum Pelafalan Niat?

Di beberapa web dan blog milik wahabi, saya melihat mereka membahas masalah palafalan niat dan mengklaimnya sebagai sesuatu yang bid’ah. Alasannya tidak ada dalilnya dari ayat qur’an maupun hadits. Berikut ini saya copaskan komentar mereka mengenai pelafalan niat.

1. aslibumiayu.wordpress.com

Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat’Usholli fardhol Maghribi. 

2. al-atsariyyah.com

Melafazhkan niat dipandang sebagai perbuatan bid’ah http://al-atsariyyah.com/fatawa-asy-syaikh-muqbil-seputar-wudhu.html

3. Member Wahabi

Member Wahabi bernama Ghadih Fatah, mulai mengajukan hayalannya. Dia menabak-nebak cara istinbat kesuhanan pelafatan niat sholat. Katanya: Bid’ah lafazh sholat ternyata karena kesalahan memahami hadits. “Shollu kama roaytu muni usholy” Kalimat muni usholi di pahami dengan bahasa jawa….. dst. Beginilah cara ahli bid’ah memahami hadits.” Begitu kata wahabi.

Kesimpulan:

- Dari komentar mereka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
- Mereka tidak tahu bagaimana cara istinbat (Pengambilan hukum) sehingga pelafalan niat disebut sunah.
- Mereka mengharuskan segala sesuatu harus ada dalilnya dari ayat quran atau hadits.
- Mereka suka berhayal dan menebak kemudian hasil hayalannya di nisbatkan kepada pihak lain.

Kritik:

Akan sangat bijak jika wahabi bersedia memelajari cara istinbat para ulama yang menyatakan hukum pelafalan niat adalah sunah, sebagaimana yang akan kita bahas dalam sesi tanggapan, Insya Alloh.

Dalam islam ada bidang ilmu yang disebut dengan ushul fiqih. Dalam ushul fiqih dijelaskan beberapa  sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. artinya, kita boleh menjadikan salah satu dari 4 hal tersebut sebagai dasar pencetusan hukum. Kita boleh mencetuskan hukum berdasarkan qias. Hukum yang dicetuskan berdasarkan qias, tentu saja tidak ada dalilnya dari quran dan hadits.

Tolong jika ingin mengkritik amalan orang lain, lakukanlah secara proposional. Jangan menggunakan hayalan dan tebak-tebakan anda kemudian hasilnya anda nisbatkan kepada orang yang anda kritik.

Tanggapan Saya:

1. Titik Permasalahan

Agar pembahasannya tidak kacau, ada baiknya jika kita ketahui titik persoalannya terlebih dahulu. Pertama-tama, perlu kita ketahui bahwa seluruh ulama sepakat bahwa niat dalam ibadah adalah syarat keabsahan ibadah. Jadi hukumnya adalah wajib.  (Bidayatul Mujtahid Wan Nihayatul Muqtashid, hlm 87).

Perbedaan pendapat terjadi ketika membahas pelafalan niat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Fiqih ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah juz 1 hlm 195. Jadi ini merupakan masalah khilafiyah dalam fiqih.

Dalam mengomentari khilafiyah seperti ini, para ulama membuat sebuah kaidah, sebagai berikut:
لا ينكر المختلف فيه ، وإنما ينكر المجمع عليه
“Sesuatu yang masih diperselisihkan tidaklah di ingkari, sesungguhnya yang dingkari adalah sesuatu yang telah menjadi Ijma’.” (Asybah Wan-Nazhoir, juz 1 hlm 158 dan Idhohul Qowaid Al-Fiqhiyah Li Thulabil Madrosah, juz 1 hlm 90)

2. Istinbat (Pencetusan Hukum)

Dalil kesunahan pelafalan niat tidak diambil dari Al-Qur’an, Hadits, maupun ijma’. Melaikan dari Qiyas. Jadi wajar jika kita tidak menemukan dalil pelafalan niat dalam qur’an, hadits dan ijma’. Lha wong dalilnya adalah qiyas kok.

Adapun metode istinbatnya adalah sebagai berikut:

و حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ بَكْرٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَبِّي بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ جَمِيعًا قَالَ بَكْرٌ فَحَدَّثْتُ بِذَلِكَ ابْنَ عُمَرَ فَقَالَ لَبَّى بِالْحَجِّ وَحْدَهُ فَلَقِيتُ أَنَسًا فَحَدَّثْتُهُ بِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ فَقَالَ أَنَسٌ مَا تَعُدُّونَنَا إِلَّا صِبْيَانًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

Dan Telah meceritakan kepada kami Suraij bin Yunus Telah menceritakan kepada kami Husyaim Telah menceritakan kepada kami Humaid dari Bakr dari Anas radliallahu ‘anhu, ia berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca talbiyah (memulai ihram) untuk haji dan umrah sekaligus.

Bakr berkata; Lalu saya menceritakan hal itu kepada Ibnu Umar, maka ia pun berkata, Beliau membaca talbiyah (memulai ihram) hanya untuk haji saja. Kemudian aku menemui Anas dan menceritakan ungkapan Ibnu Umar, maka Anas pun berkata, Kalian tidaklah menganggap kami, kecuali masih kecil (saat itu). Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca: LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah sekaligus hajji). (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah saw melafazhkan niat di waktu beliau melakukan umrah dan hajji. Ini namanya lafazh niat hajji qiran. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa Usholli ini diqiyaskan kepada hajji.

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ وَبِشْرُ بْنُ بَكْرٍ التِّنِّيسِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنِي عِكْرِمَةُ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي الْعَقِيقِ يَقُولُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidiy telah menceritakan kepada kami Al Walid dan Bisyir bin Bakar At-Tinnisiy keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Al Awza’iy berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya berkata, telah menceritakan kepada saya ‘Ikrimah bahwa dia mendengar Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata, bahwa dia mendengar ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di lembah Al ‘Aqiq: Malaikat yag diutus oleh Rabbku datang kepadaku dan berkata: Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah hajji ini. (HR. Bukhari)

Lafazh “Ushalli” yang berarti “Aku shalat” atau “Sengaja aku shalat” mirip dengan lafazh “Sengaja aku umrah dan hajji”. Dan itulah lafazh niat. Niat adalah menyengaja sesuatu perbuatan, dan letaknya di hati. Adapun melafazhkan niat adalah mengucapkan niat dengan lisan yang dapat membantu hati berniat untuk menyengaja suatu perbuatan. Dengan berdasarkan qiyas ini, sebagian ulama berpendapat bahwa hukum melafalkan niat adalah sunah.

3. Ulama Yang Menyunahkan Pelafalan Niat.

a. Syamsudin Muhammad Bin Ahmad Asy Syarbini Al-Khothib, dalam kitab Al-Iqna’ Juz 1 hlm 124 mengatakan:

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولانه أبعد عن الوسواس
Artinya: “Disunahkan mengucapkan perkara yang diniati…..”

b. Imam Mahali dalam kitab Mahali Juz 1 hlm 162 mengatakan:

(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.

Artinya: “Disunahkan mengucapkan niat…”

c. Ibn Hajar Al-Haitami dalam Minhajul Qowim mengatakan:

ولصحة الصوم شروط الأول النية ) لخبر ( إنما الأعمال بالنيات ) ومر الكلام عليها وإنما تجب بالقلب ويسن التلفظ بها وتجب في الفرض والنفل
Artinya: “Untuk ke absahan puasa ada beberapa syarat, pertama niat……. Adapun kewajiban niat adalah menggunakan hati dan disunahkan melafalkannya….”

d. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 mengatakan: “Dan disunnahkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz yakni menyimpang. Kesunahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazhan dalam niat hajji.”

e. Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj Jilid I/437, mengatakan: “Dan disunnahkan melafazhkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazhan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya.”

f. DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767, mengatakan: “Disunnahkan melafazhkan niat menurut jumhur selain madzhab Maliki.”

4. Komentar Imam Suyuthi dan Imam Nawawi Dalam Pelafalan Niat.

Oleh karena itu, dalam mengomentari pelafalan niat, Imam Suyuthi dan Imam Nawawi mengatakan bahwa pelafalan niat adalah lebih utama dan lebih sempurna.

Imam Nawawi, dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab Juz 1 hlm 316 mengatakan:

النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَلَا يَجِبُ اللَّفْظُ بِاللِّسَانِ مَعَهَا: وَلَا يجزئ وحده وان جمعها فَهُوَ آكَدُ وَأَفْضَل                                     

Artinya: “Niat adalah dengan hati dan tidak wajib melafalkannya dengan lisan: tidak cukum hanya melafalkan nya saja. Apabila seseorang mengumpulkan keduanya (Niat dengan hati dan lisan) maka hal tersebut lebih kuat dan lebih utama.”

Imam Suyuthi dalam Al-hawi Fi Fiqhi Syafi’I Juz 2 hlm 9, mengatakan:

مَحَلُّ النِّيَّةِ في الصلاة وَهُوَ الْقَلْبُ ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ بِهِ ، لِأَنَّهَا تُفْعَلُ بِأَنْأَى عُضْوٍ فِي الْجَسَدِ ، وَهُوَ الْقَلْبُ وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ : أَحَدُهَا : أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ ، وَيَلْفِظَ بِلِسَانِهِ فَهَذَا يُجْزِئُهُ ، وَهُوَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ

Artinya: “Tempat niat dalam sholat adalah hati…… Apa bila seseorang telah berniat dalam hati maka selanjutnya baginya ada tiga keadaan, pertama: Ia niat dengan hatinya dan melafalkan niat dengan lisan, maka ini mencukupi baginya. Ini merupakan keadaannya yang paling sempurna.”

Demikianlah penjelasan tentang pelafalan niat. Jadi dalil kesunahannya tidak diambil dari Al-Qur’an ataupun hadits ataupun ijma’. Melainkan dari qiyas. Dan qiyas merupakan salah satu sumber hukum syari’at.

5. Cara Pelafalan Niat
Dalam kitab safinatunnaja dijelaskan tata cara pelafalan niat sebagai berikut:

Manakala shalat itu fardhu maka wajib bermaksud mengerjakan, menentukan jenis shalat dan menerangkan kefardhuannya. Manakala shalat sunnah, yang terbatas oleh waktu seperti shalat rawatib atau shalat sunnah yang terikat sebab maka wajib menyengaja mengerjakannya dan menentukan shalat. Manakala shalat sunnah mutlak, maka hanya wajib bermaksud (menyengaja) mengerjakannya (saja)

Mengenai “أصلي ”/ushalli/aku shalat” (itu adalah menyengaja (qashdul fi’li) sedangkan ta’yin adalah menentukan jenis shalaat, sepeti dzuhur dan asar. Sedangkan fardhiyah adalah menyatakan fardhu.

6. Pertanyaan Buat Wahabi

Jika wahabi masih ngeyel dan memaksakan kehendak mereka untuk membid’ahkan pelafalan niat karena tidak ada dalilnya dar al-quran dan hadits, maka mari kita lihat ajaran wahabi tentang pembagian tauhid menjadi tiga. Adakah dalilnya?

Adakah ayat Qur’an yang mengatakan “Hai orang-orang beriman sesungguhnya tauhid itu dibagi menjadi tiga?” Adakah haditsnya yang menegaskan bahwa Nabi SSAW bersabda: “Tauhid itu ada tiga…” Adakah penjelasan dalam kitab Marotibul Ijma’ yang mengatakan bahwa “Seluruh ulama sepakat bahwa tauhid di bagi menjadi tiga?”

Apakah pembagian tauhid menjadi tiga adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya dari Al-Quran dan Hadits? Jika wahabi menjawab bahwa pembagian tauhid menjadi tiga hanya merupakan hasil ijtihad, maka saya katakana: “Pelafalan sunah juga merupakan hasil ijtihad.”


Jadi mana yang bid’ah? Melafalkan niat ataukah membagi tauhid menjadi tiga? Jawab wahai wahabiyun!!! 

1 comment:

  1. trimakasih penjelasanx ustad, ana udh ckup lama mncari ini.

    ReplyDelete



 
Support : Qosim Ibn Aly | Islamic Defenders Community
Copyright © 2013. Golek Surgo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Aliy Faizal
Proudly powered by Blogger